“Waspada” Akrobat DPR

Oleh: Soerya Rauf

Sepih selalu menjadi teman sehari-hari, saat semua orang sibuk berjibaku dengan aktivitasnya saya malah duduk menepih disalah satu skiptorium yang udaranya tidak senyaman Kamar Hotel.

‎Dalam posisi itu saya mendapatkan Ilham atas masalah-masalah yang ditimbulkan oleh DPR ( Dewan Pembohong Rakyat). Bermodalkan sedikit bacaan saya kemudian beranjak menuliskan apa yang saya pikirkan.

Semoga ini menjadi satu catatan baru untuk mengevaluasi masa depan lembaga Legislatif yang tidak lagi mengedepankan fungsinya sebagai wakil Rakyat.

Baca Juga:

Sri Mulyani Resmi Pamit dari Jabatan Menteri Keuangan

‎Politik kita pandai bersandiwara. Kata-kata lebih penting dari kenyataan. Lihat saja isu tunjangan DPR belakangan ini rakyat marah karena ada tunjangan rumah puluhan juta rupiah per bulan.

Padahal banyak keluarga susah membayar kontrakan sederhana. Demonstrasi pecah di berbagai kota. DPR lalu menjawab dengan sikap manis: tunjangan rumah akan dihapus.

‎Sekilas, ini seperti kemenangan kecil. Tetapi benarkah dihapus? Ataukah hanya diganti nama, disulap jadi istilah teknokratis? Sejarah membuktikan DPR jarang mau menggunting fasilitasnya sendiri.

Mereka piawai berakrobat dengan bahasa. Jika istilah “tunjangan rumah” sudah beracun, mereka akan menguburnya lalu melahirkan istilah baru yang harum di telinga.

Baca Juga:

Breaking News: Toko Sembako di Weda Terbakar

‎Dalam dunia DPR, kamus adalah mesin legitimasi. Kata yang buruk dibuang, kata manis dipakai. “Tunjangan rumah” bisa lenyap, lalu lahir “biaya representasi akomodasi”. “Dana reses” bisa berubah jadi “fasilitasi aspirasi daerah pemilihan”. Istilahnya berganti, aliran uang tetap sama.

‎Liciknya permainan ini ada pada bungkus. Kata “tunjangan” terdengar memanjakan, diganti “biaya operasional”. Kata “fasilitas” terlalu vulgar, diganti “subsidi tugas konstitusional”. Semakin rumit istilah, semakin sulit publik menelusuri apa yang sesungguhnya terjadi.

‎Pola ini bukan hal baru. Dulu ada “dana aspirasi” yang dikritik karena rawan jadi proyek titipan. Apa yang terjadi? Hilang begitu saja, lalu berganti “pokok-pokok pikiran anggota DPR”. Isinya tetap, jalannya tetap, hanya kostumnya berbeda.

‎Begitu pula dengan “studi banding” ke luar negeri atau keluar kota yang dicibir publik. Istilah itu kemudian diganti “rapat konsultasi” atau “kunjungan kerja”.

Kita tahu, sebagian besar perjalanan tetap diwarnai wisata kuliner dan foto di objek- Objek Mewah serta Mega. Nama baru membuatnya tampak resmi, bahkan terhormat.

Baca Juga:

Menjaga Tradisi, Merawat Pikiran Kritis Mahasiswa

‎Triknya sederhana: ubah nama, jaga aliran. Rakyat yang tak sempat meneliti detail APBN dan APBD akan mengira tunjangan benar-benar dihapus.

Padahal belanja negara tidak berkurang. Pos lama hilang, pos baru muncul. Ibarat memindahkan air dari gelas ke botol, cairannya tetap sama.

‎Rakyat digiring untuk percaya bahwa DPR telah berkorban. Padahal yang dikorbankan hanya kata, bukan uang. Jika ditanya ke mana perginya dana yang katanya dihapus, jawabannya selalu ada di balik kalimat panjang penuh jargon: demi aspirasi, demi konstitusi, demi martabat bangsa.

‎Agar publik tidak terkecoh, mari kita siapkan daftar istilah pengganti yang mungkin dipakai DPR:

‎1. Biaya Representasi Akomodasi – pengganti tunjangan rumah. 2. Subsidi Tugas Konstitusional – bungkus baru biaya pribadi. 3. Dana Fasilitasi Aspirasi Daerah – nama lain dari dana reses.

4. Insentif Kinerja Legislator – legitimasi untuk tunjangan kehormatan. 5. Dana Kehadiran Konstituen – ongkos jalan-jalan ke dapil. 6. Fasilitasi Kebangsaan dan Kenegaraan – kotak serba guna untuk seremonial.

Baca Juga:

Membangun Gerakan dengan Membaca SWOT: Strategi Kesadaran Massa dalam Konteks Maluku Utara

‎Semua terdengar indah, tapi intinya tetap: jalur resmi menambah pundi-pundi pribadi.

‎Di balik permainan istilah ini, ada angka yang mencolok. Tunjangan rumah Rp 50 juta per bulan untuk 575 anggota DPR jika dikalikan setahun mencapai lebih dari Rp345 miliar.

Jika berjalan selama lima tahun periode, nilainya bisa menembus Rp1,7 triliun. Itu baru satu jenis tunjangan. Belum ditambah dana reses, kunjungan kerja, perjalanan luar negeri atau keluar kota hingga fasilitas kendaraan.

‎Angka sebesar itu jelas bukan perkara sepele. Bagi rakyat, Rp 50 juta bisa jadi modal usaha, biaya pendidikan, atau menyambung hidup berbulan-bulan.

Bagi DPR, angka itu disebut “kompensasi” atau “subsidi”. Ironi ini semakin menegaskan bahwa yang berubah hanya nama, bukan isi.

Baca Juga:

Gagalnya Kepolisian Kota Ternate Menjalankan Mandat Konstitusi

‎Inilah seni utama para wakil rakyat: mahir menghapus kata, tapi tak pernah menghapus nafsu. Mereka tahu rakyat mudah terbuai oleh pengumuman singkat, “tunjangan rumah dihentikan.”

Mereka juga tahu, rakyat jarang menelusuri apakah ada pos baru yang diam-diam menggantikan. Yang patuh hanyalah tata bahasa, bukan hati nurani.

‎Selama aturan gaji dan tunjangan DPR dibuat oleh DPR sendiri, harapan penghapusan sungguh tipis. Tidak ada pemain bola yang rela memotong sepatunya sendiri.

Tidak ada aktor yang mau mencoret dialognya sendiri. Begitu pula DPR: sulit berharap mereka menutup keran yang selama ini menghidupi gaya hidup elit.

‎Kontrol publik adalah kunci, meski sering terbentur kabut istilah yang diciptakan. Bahasa birokrasi dipakai sebagai tirai untuk menyembunyikan apa yang seharusnya terbuka.

‎Kisah tunjangan DPR hanyalah satu episode dari serial panjang tentang kecerdikan mengakali bahasa. Dari masa ke masa, mereka terbukti piawai mengganti istilah demi menyelamatkan pundi-pundi.

Hari ini tunjangan rumah, besok bisa “dana penunjang tugas konstitusional”. Lusa mungkin “subsidi representasi kenegaraan”. Nama bisa berganti, tapi niat memperkaya diri tetap sama.

Rakyat boleh menepuk tangan ketika istilah dihapus, tapi jangan kaget ketika menemukan pos baru dengan nama lebih indah. Inilah politik bahasa ala DPR: menghapus kata, bukan menghapus uang. (*)

**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *