Pendidikan Sebagai Jalan Menuju Manusia

Intronusantara – Pendidikan bukanlah menara gading, bukan pula lorong sempit di mana anak-anak dicekoki angka, simbol, dan teori untuk kemudian dilepas begitu saja ke tengah pusaran dunia.

Pendidikan, jika kita meminjam kata-kata para pemikir besar, adalah sebuah perjalanan yang sunyi sekaligus bising: sunyi karena ia menuntut permenungan mendalam tentang siapa manusia; bising karena di dalamnya selalu berkecamuk tarik-menarik antara kepentingan kekuasaan dan panggilan kemerdekaan.

Sejarah bangsa ini, bahkan sejarah manusia, telah membuktikan bahwa pendidikan selalu menjadi medan perebutan. Siapa yang menguasai pendidikan, ia menguasai arah pikiran dan imajinasi generasi.

Baca Juga:

Api Rempah, Darah Perjuangan

Tetapi sejarah juga menyingkap wajah lain: pendidikan bisa menjadi obor yang membebaskan manusia dari kegelapan.

Dalam titik ini, suara Tan Malaka, Paulo Freire, Ki Hadjar Dewantara, hingga Ari Binanzar, bergaung seakan menyatu—mengingatkan kita agar tak menurunkan martabat pendidikan menjadi sekadar kursus panjang untuk mencetak pekerja, tetapi menjadikannya jalan untuk menumbuhkan manusia yang utuh.

Tan Malaka: Rasionalitas sebagai Kemerdekaan

Di awal abad ke-20, Tan Malaka menulis Madilog—sebuah karya yang lahir dari pergulatan panjang di antara peluru kolonial dan keterasingan.

Ia menegaskan bahwa bangsa yang tidak berani berpikir rasional akan mudah diperdaya. Pendidikan, menurutnya, adalah senjata utama untuk melawan takhayul, mitos, dan dogma yang membelenggu.

Tan Malaka melihat betapa rakyat kerap dipaksa tunduk pada keyakinan tanpa logika, seakan-akan berpikir kritis adalah dosa.

Baca Juga:

Bill Gates Keluar dari 10 Besar Forbes 400, Fokus Sumbangkan 99% Kekayaan

ā€œJika rakyat berpikir dengan otak yang merdeka, maka penjajahan pun akan runtuh dengan sendirinya,ā€ demikian kira-kira pesan yang bisa kita simpulkan dari api gagasannya.

Pendidikan dalam pandangan Tan Malaka adalah latihan berpikir, bukan sekadar menghafal. Ia menolak pendidikan yang hanya membuat rakyat pandai membaca huruf tetapi buta membaca kenyataan.

Maka baginya, tujuan pendidikan adalah melahirkan bangsa yang berani bertanya, berani menolak, berani menimbang dengan akal sehat.

Paulo Freire: Pendidikan sebagai Dialog

Puluhan tahun setelah Tan Malaka, Paulo Freire di Amerika Latin merumuskan apa yang ia sebut pedagogi kaum tertindas. Ia menolak model pendidikan ā€œbankā€ di mana murid diperlakukan layaknya celengan kosong, sementara guru menjadi satu-satunya pemilik pengetahuan.

Bagi Freire, murid bukanlah wadah pasif, melainkan subjek yang memiliki pengalaman, pengetahuan, bahkan kebijaksanaan hidup.

Baca Juga:

Usai Mengganti Lima Mentri Kabinet, Mahfud MD Beri Apresiasi dan Dua Jempol Untuk Presiden Prabowo

ā€œUntuk membaca dunia, bukan sekadar membaca kataā€ā€”itulah jantung gagasannya. Pendidikan, baginya, adalah dialog. Dialog bukan dalam arti basa-basi, melainkan pertemuan yang saling menghidupkan: guru belajar dari murid, murid belajar dari guru, keduanya belajar dari realitas.

Pendidikan, jika dimaknai demikian, menjadi jalan pembebasan dari kebisuan. Ia menumbuhkan kesadaran kritis (conscientização), sebuah keberanian untuk melihat struktur ketidakadilan dan melawannya dengan pengetahuan yang lahir dari pengalaman kolektif.

Ki Hadjar Dewantara: Pendidikan sebagai Seni Memerdekakan

Sementara itu, jauh di tanah air, Ki Hadjar Dewantara sudah menyalakan obor yang sama. Semboyannya yang terkenal—Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani—bukan sekadar slogan, melainkan filosofi hidup.

Pendidikan baginya bukan upaya mendisiplinkan anak untuk menjadi patuh pada kuasa, melainkan seni menumbuhkan kebebasan yang bertanggung jawab.

Baca Juga:

Prabowo Hubungi Emir Qatar, Bahas Kondisi Pasca-Serangan Israel ke Doha

ā€œAnak-anak kita bukanlah kertas kosong yang harus dicoret-coret oleh orang dewasa,ā€ seakan demikian pesan Ki Hadjar.

Mereka adalah benih yang sudah membawa daya hidupnya sendiri. Tugas pendidikan adalah merawat, membimbing, dan menyalurkan potensi agar anak bertumbuh sesuai kodratnya.

Maka tujuan pendidikan, menurut Ki Hadjar, adalah menuntun hidup anak menuju kemerdekaan: merdeka berpikir, merdeka berperasaan, merdeka bertindak—tetapi tetap tertambat pada budi pekerti yang luhur.

Ari Binanzar: Pendidikan sebagai Ruang Kemanusiaan

Dalam arus modern, Ari Binanzar hadir menyuarakan kritik yang relevan: pendidikan hari ini terlalu sibuk mengejar angka, ranking, sertifikat, hingga melupakan ruh kemanusiaan.

Ia mengingatkan bahwa pendidikan bukan sekadar instrumen ekonomi, melainkan ruang dialog budaya, ruang di mana manusia belajar mengenali dirinya sekaligus orang lain.

Ari Binanzar menegaskan bahwa kurikulum sering kali tercerabut dari kehidupan nyata. Murid pandai menghitung angka abstrak, tetapi gagap menghadapi persoalan sederhana di masyarakat.

Baca Juga:

ā€œWaspadaā€ Akrobat DPR

Guru pandai mengutip teori, tetapi kerap kehilangan daya sentuh kemanusiaan. Maka ia menekankan pentingnya pendidikan yang membumi, yang berangkat dari realitas hidup sehari-hari, agar ilmu tidak melayang di awang-awang, tetapi menjejak di tanah kehidupan.

Benang Merah: Pendidikan yang Memerdekakan

Jika kita merangkai keempat suara ini, tampak jelas benang merahnya: pendidikan sejati adalah pendidikan yang memerdekakan. Merdeka dari takhayul (Tan Malaka), merdeka dari kebisuan (Freire), merdeka dari kungkungan otoritas (Ki Hadjar), dan merdeka dari keterasingan nilai (Binanzar).

Namun, realitas hari ini kerap berlawanan. Pendidikan digiring menjadi mesin industri: siswa dipaksa lulus dengan nilai tinggi demi melayani pasar tenaga kerja, bukan demi menjadi manusia seutuhnya.

Akibatnya, banyak yang cerdas akalnya tetapi kering hatinya, lihai berhitung tetapi buta rasa, pandai berdebat tetapi miskin kasih.

Baca Juga:

Sri Mulyani Resmi Pamit dari Jabatan Menteri Keuangan

Inilah paradoks pendidikan modern: semakin tinggi gedung sekolah dibangun, semakin jauh pula kita dari tujuan hakiki pendidikan itu sendiri.

Padahal, pendidikan yang sejati justru sederhana: ia hadir ketika seorang guru mendengar muridnya dengan hati, ketika seorang murid berani bertanya tanpa takut dimarahi, ketika ilmu pengetahuan digunakan untuk memperbaiki hidup bersama, bukan sekadar mengejar gelar pribadi.

Penutup: Menjadi Manusia

Pendidikan, pada akhirnya, bukan tentang ijazah atau status sosial. Ia adalah perjalanan panjang untuk menjadi manusia: manusia yang berpikir seterang logika, merasakan sedalam cinta, dan bertindak seteguh nurani.

Tan Malaka menekankan keberanian akal, Freire menekankan keberanian dialog, Ki Hadjar menekankan kebebasan yang berakar pada budi, Ari Binanzar menekankan dimensi kemanusiaan yang hangat.

Jika keempat suara kita satukan, maka kita akan sampai pada kesimpulan yang sederhana tetapi mendasar: tujuan pendidikan adalah merawat kehidupan itu sendiri. Bukan hanya kehidupan individu, tetapi kehidupan kolektif sebagai bangsa dan sebagai umat manusia.

Baca Juga:

Menjaga Tradisi, Merawat Pikiran Kritis Mahasiswa

Di dalam setiap kelas, di balik setiap buku, dan di antara setiap percakapan guru-murid, seharusnya tersimpan sebuah rahasia besar: bahwa pendidikan adalah seni mencipta manusia yang lebih manusiawi. Dan selama pendidikan kita tidak mengarah ke sana, maka ia hanyalah ruang kosong yang penuh angka, tetapi miskin jiwa.Ā (*)

Ditulis oleh: Hasbi Ade

**)Ā Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klikĀ link iniĀ dan janganĀ lupaĀ diĀ follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *