Oleh: Sahwi Agil
Sore tadi datang dengan langkah pelan. Kami menyusuri jalanan yang mulai diselimuti bayangan senja. Langit Ternate belum sepenuhnya gelap, tapi cahaya jingga sudah memantul di jendela-jendela rumah dan bodi kendaraan yang lalu-lalang.
Di sebuah kafe kecil bernama Kopiam, aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan tawa dan percakapan ringan para pengunjungnya. Di sanalah kami berkumpul—Kak Bambang Idris, adik Ketum Murjalin, Ko Dhien Hi Nuh, dan aku sendiri.
Pertemuan itu sederhana, tanpa janji yang terlalu serius. Hanya niat untuk melepas penat dan berbagi sisa cerita dari hari yang panjang. Di meja kecil di persimpangan jalan itu, kami merangkai rute perjalanan dan memutuskan untuk ke pusat kota—menikmati malam yang belum tentu ramah, dengan isi dompet yang pas-pasan. Tapi malam itu bukan soal uang, melainkan tentang percakapan yang lahir di antara jeda tawa dan deru mesin motor.
Baca Juga:
Kehidupan Kolektivisme Masyarakat Adat: Dari Komunal Primitif hingga Zaman Modern
Ketika senja benar-benar tenggelam, kami berangkat. Kak Bambang dan adik Murjalin melaju lebih dulu dengan motor tuanya yang masih gagah; knalpotnya mengeluarkan suara berat, seperti menggumamkan lagu jalanan. Sementara aku bergoncengan dengan Ko Dhien Hi Nuh—sosok yang kami anggap sebagai orang tua di kota ini. Sepanjang jalan, kami berbincang kecil, sambil menatap lampu-lampu kota yang seolah menyimpan kenangan lama.
Kendaraan kami memang bukan yang terbaik. Setiap kali menanjak, suara mesinnya serak, seolah meminta maaf sebelum mati di tengah jalan. Namun di atas kendaraan itu, kami menemukan percakapan hangat: tentang pekerjaan, mimpi, harapan, dan seseorang yang masih kami rindukan, tapi tak sempat dihubungi.
Jalan menuju pusat kota dini malam itu terasa seperti garis waktu yang panjang. Angin laut membawa aroma asin yang samar, berpadu dengan wangi bensin dan asap warung pinggir jalan.
Baca Juga:
Membaca Ekopopulisme di Tanah Nikel
Sesampainya di pusat kota, kami berpencar. Kak Bambang dan adik Murjalin melanjutkan ke arah mereka, sementara aku dan Ko Udin berbelok menuju Markrubu—melalui jalan menanjak yang membawa kami ke sebuah kafe di ketinggian, menatap laut dari jauh.
Kafe itu tak terlalu ramai, tapi punya suasana yang sulit dijelaskan. Lampu gantung di pohon pala menyala kekuningan, menyorot meja-meja kayu yang tampak telah berumur. Dari halamannya, kota Ternate terlihat berkelip seperti hamparan bintang di permukaan bumi.
Kami duduk di pojok, memesan kopi, dan melanjutkan obrolan yang sempat terhenti di jalan. Kali ini lebih perlahan, lebih dalam. Kadang diselingi diam yang tidak canggung—seolah kami tahu, ada hal-hal yang lebih baik disampaikan lewat tatapan daripada kata.
Baca Juga:
Runtuhnya Menara Gading: Ketika KAMMI Pusat Menjadi Musuh Dalam Selimut Kader Komisariat
Pengunjung datang silih berganti, dengan pakaian dan gaya yang beragam. Ada yang mengenakan batik, ada yang berjaket, dan ada pula pasangan muda dengan kaos ablon. Malam itu, warna hitam tampak mendominasi—entah kebetulan, atau memang warna itu sedang menjadi favorit banyak orang.
Di antara aroma kopi dan dinginnya angin bukit, kami berbagi tawa kecil, cerita masa lalu, dan rencana masa depan yang masih berupa harapan. Dari obrolan sederhana itu, kami belajar satu hal: setiap perjalanan kecil bisa menjadi bab pembuka dari kisah yang panjang—asal dijalani bersama, dan diingat dengan hati yang tenang. (*)
