Menjaga Tradisi, Merawat Pikiran Kritis Mahasiswa

Oleh: Surya Fuar

Selasa malam yang penuh sesak, ditemani dingin yang kian menusuk, saya duduk membuka beberapa halaman buku yang belum sempat saya selesaikan bulan ini. Dengan secarik kertas dan sebuah bolpoin, jari-jemari saya mulai menari di atas garis-garis hitam yang memberi corak pada lembaran kosong.

Namun pikiran saya terasa kacau dan rumit. Setelah menuliskan catatan tentang kondisi kaum muda hari ini yang begitu jauh dari literasi dan buku, saya merasa ada kegelisahan yang sulit ditepis.

Buku seolah dianggap barang kotor yang tidak layak disimpan, padahal sejatinya ia adalah cadangan energi bagi tubuh dan jiwa yang kelak menua. Dari situlah tulisan sederhana ini saya hadirkan sebagai refleksi kecil atas dinamika mahasiswa hari ini.

Baca Juga:

Membangun Gerakan dengan Membaca SWOT: Strategi Kesadaran Massa dalam Konteks Maluku Utara

Menjadi mahasiswa, baik di kampus negeri ternama maupun di perguruan tinggi swasta yang mungkin tak dikenal, tetaplah sebuah kesempatan emas yang tidak semua orang miliki. Disebut kesempatan emas karena masa mahasiswa adalah ruang terbuka selebar-lebarnya untuk akselerasi pola pikir dan intelektualitas.

Jika meminjam bahasa kaum santri, inilah masa “kenaikan maqam intelektual”. Dari yang semula berada pada maqam intelektual yang “lugu” atau bahkan “irasional”, perlahan ditransformasikan menuju maqam “intelektual kritis-progresif”.

Di sinilah letak kunci paling substansial dalam memahami dunia mahasiswa, yakni pikiran kritis. Tanpa pikiran kritis, sesungguhnya seseorang belum layak disebut mahasiswa atau kaum terpelajar.

Dalam konteks pendidikan Indonesia, yang membedakan anak SMA dengan mahasiswa seharusnya terletak pada lanskap cara berpikir. Apalagi pelajaran filsafat yang seharusnya mengasah nalar kritis baru diberikan di jenjang perguruan tinggi, berbeda dengan sistem pendidikan di luar negeri yang sudah memperkenalkannya sejak SMP atau SMA.

Baca Juga:

Gagalnya Kepolisian Kota Ternate Menjalankan Mandat Konstitusi

Meski demikian, filsafat bukan satu-satunya jalan untuk melatih nalar kritis. Membaca banyak buku, berpetualang, berdiskusi, dan menumbuhkan rasa ingin tahu juga merupakan jalan lain yang tak kalah penting. Semua hal itu bisa memantik tumbuhnya pikiran kritis sekaligus meruntuhkan cara berpikir yang sempit dan dogmatis.

Sayangnya, berbagai survei nasional maupun internasional menunjukkan bahwa daya baca masyarakat kita masih sangat rendah. Situasi ini diperparah oleh sisa-sisa budaya feodal yang masih mengakar kuat, membunuh tradisi diskusi egaliter yang membangkitkan pikiran kritis.

Budaya feodal hanya melahirkan ruang perbincangan ala keraton yang penuh titah sesepuh atau raja yang tabu dibantah, sekaligus melahirkan mental budak yang tak percaya diri.

Mahasiswa tanpa nyala pikiran kritis bukanlah mahasiswa. Dunia perkuliahan tidak diciptakan untuk menjadikan kita sekadar ternak jinak bagi dosen dan birokrat kampus. Kampus bukan barak serdadu yang menyeragamkan pikiran, perkataan, hingga tingkah laku.

Baca Juga:

Polemik Pulau Sain Kembali Mencuat, Pemda Papua Barat Daya Berkunjung ke Pulau Sain: Ada Apa?

Sejarah bangsa ini mencatat bahwa Sukarno muda, Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, hingga Amir Syarifuddin adalah contoh mahasiswa yang berpikir kritis, meski sebagian dari mereka bahkan tidak menuntaskan kuliahnya.

Mereka membuktikan bahwa negeri ini lahir dari pikiran kritis mahasiswa yang peduli pada kaum miskin, berani menentang ketidakadilan, dan menolak menjadikan ilmu hanya untuk kepentingan diri dan keluarga semata.

Mahasiswa di abad konten kreator ini pun masih bisa menjadi sehebat Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, atau Amir Syarifuddin. Syaratnya sederhana namun berat untuk meniru kegilaan positif mereka, seperti gila membaca, gila peduli pada nasib sesama, gila melawan ketidakadilan, dan gila berkorban demi cita-cita mulia.

Kegilaan-kegilaan itulah teladan yang harus dirawat, agar api pikiran kritis tetap menyala dan menjadi sinar harapan bagi masa depan bangsa. (*)

 

**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *