Oleh: Fitriyani Ashar S.Pi.M.Si
Pembangunan Jalan Trans Kieraha kembali menempatkan Maluku Utara pada persimpangan penting antara pemenuhan kebutuhan publik dan tarik-menarik kepentingan industri. Di satu sisi, jalan ini dijanjikan sebagai solusi konektivitas, membuka akses ekonomi bagi warga Halmahera dan menghubungkan sentra-sentra produksi yang selama ini terisolasi.
Namun di sisi lain, jejak trase yang bersinggungan dengan kawasan tambang memunculkan kecurigaan bahwa proyek ini lebih mengakomodasi kepentingan korporasi ketimbang kebutuhan masyarakat. Di tengah klaim pemerintah tentang kelengkapan studi kelayakan dan dokumen lingkungan, muncul pertanyaan yang lebih mendasar: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan oleh Trans Kieraha?
Tidak ada yang membantah bahwa Maluku Utara membutuhkan pembangunan infrastruktur yang lebih merata. Banyak wilayah di Halmahera masih terpisah oleh akses jalan yang buruk dan jarak tempuh yang panjang. Warga pedesaan harus melewati jalur yang berat untuk pergi ke sekolah, ke pasar, atau mendapatkan layanan kesehatan. Dalam konteks ini, keberadaan jalan lintas baru tentu sangat dibutuhkan.
Baca juga:
Generasi Muda dan Kekuasaan: Menyingkap Dilema Idealisme vs Pragmatisme
Namun persoalan Jalan Trans Kieraha bukan sekadar kebutuhan jalan itu sendiri, melainkan arah pembangunan ini ditujukan untuk siapa. Pola pembangunan yang dipilih pemerintah sering kali merefleksikan relasi kekuasaan dan kepentingan tertentu. Seperti diingatkan dalam Teori Ketergantungan, pembangunan di wilayah pinggiran kerap diarahkan untuk menopang kepentingan industri dan pasar eksternal, bukan kebutuhan lokal. Hal inilah yang mulai terlihat di Maluku Utara.
Trans Kieraha berulang kali dijual sebagai solusi konektivitas, seakan-akan seluruh persoalan Maluku Utara akan selesai begitu jalan itu diaspal. Tetapi ada pertanyaan yang sengaja diredam: apakah jalan ini sungguh dibangun untuk rakyat, atau hanya menjadi fasilitas baru bagi ekspansi tambang?
Pemerintah menggadang-gadang Trans Kieraha sebagai pembuka isolasi Halmahera. Tetapi kenyataannya, banyak desa yang benar-benar membutuhkan akses jalan malah tidak masuk dalam prioritas pembangunan. Ironisnya, segmen jalan yang justru didorong dengan agresif adalah yang berada dekat atau bersinggungan dengan wilayah konsesi industri ekstraktif. Di titik inilah relevansi teori Andre Gunder Frank menjadi jelas: pembangunan sering âdibungkusâ dengan retorika kesejahteraan, tetapi infrastruktur yang dibangun justru memperkuat dominasi modal atas wilayah pinggiran.
Baca juga:
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemerosotan Citra Onco Sherly
Menurut Frank, proyek seperti ini adalah contoh klasik dari pembangunan yang menghasilkan keterbelakangan sebuah kondisi dimana pembangunan fisik justru memperdalam ketimpangan dan memuluskan arus kekayaan keluar, bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
Ketika peta rencana infrastruktur lebih mirip blueprint logistik perusahaan tambang ketimbang peta kebutuhan publik, publik berhak curiga.
Kelemahan terbesar proyek ini bukan pada teknis, tetapi pada integritas informasi. Angka anggaran yang berubah-ubah hanya mempertebal kesan bahwa pemerintah tidak benar-benar siap atau sengaja tidak ingin jelas.
Jika dokumen FS dan AMDAL memang sudah lengkap, mengapa publik tidak bisa mengaksesnya? Pemerintah seolah lupa bahwa publik bukan lagi penonton pasif. Ketika hutan, wilayah adat, dan masa depan lingkungan dipertaruhkan, masyarakat berhak menuntut akuntabilitas. Trans Kieraha pada titik ini tampak lebih sebagai proyek yang ingin dipaksakan daripada inisiatif pembangunan yang benar-benar matang.
Sulit menepis dugaan bahwa jalan ini dirancang untuk mempermudah aktivitas industri. Di banyak daerah di Indonesia, pola ini berulang: jalan dibangun untuk memudahkan alat berat, truk pengangkut ore, dan logistik industri nikel.
Baca juga:
HUT Kabupaten yang Kehilangan Arah: Tanah Adat, Ekologi, dan Rakyat yang Diabaikan
Di sinilah konsep ekstraktivisme menjadi relevan. Ekstraktivisme bukan sekadar aktivitas menambang, tetapi model pembangunan yang memfungsikan negara sebagai penyedia
infrastruktur bagi industri ekstraktif. Infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan listrik diarahkan untuk memperlancar ekstraksi bahan mentah, sementara rakyat hanya menerima dampak sosial dan ekologisnya.
Trans Kieraha menunjukkan gejala kuat ekstraktivisme: trase beririsan dengan konsesi tambang, jalur lebih dekat ke industri ketimbang ke desa, percepatan pembangunan sejalan dengan ekspansi tambang, Jalan ini lebih terlihat sebagai koridor logistik nikel daripada infrastruktur publik.
Pemerintah sering membanggakan proyek besar sebagai simbol kemajuan. Tetapi ukuran kemajuan bukan panjang jalan, melainkan kualitas hidup warga yang dilalui jalan itu. Apa gunanya jalan panjang jika yang pertama menikmatinya adalah truk industri? Apa gunanya pembangunan kalau biaya ekologis dan sosial dibayar oleh masyarakat yang paling rentan?
Baca juga:
Membaca Ekopopulisme di Tanah Nikel
Dalam konteks Teori Ketergantungan, pembangunan semacam ini justru membuat daerah terus menjadi pemasok bahan mentah dan semakin bergantung pada industri besar. Bukan kemandirian, tetapi ketergantungan yang diproduksi ulang.
Menurut rilis resmi, Trans Kieraha disebut sebagai jalur logistik yang akan menghubungkan sentra pertanian di Halmahera Timur dengan kawasan industri IWIP. Namun kritik dari WALHI, KAHMI, akademisi, dan masyarakat menyatakan hal berbeda: trase jalan justru melewati kawasan tambang, bukan sentra produksi masyarakat.
Kritik ini sejalan dengan gagasan Gunder Frank bahwa pembangunan sering diarahkan untuk menghubungkan metropolis (industri) dengan sumber daya, sementara masyarakat pinggiran (satellite) hanya menjadi penyedia ruang dan komoditas tanpa menikmati nilai tambahnya.
Pemerintah memiliki tugas moral dan politik untuk membuktikan bahwa Trans Kieraha bukan proyek ekstraktif. Pembukaan dokumen FS dan AMDAL, pelibatan masyarakat adat, serta evaluasi ulang prioritas pembangunan harus menjadi langkah awal.
Baca juga:
Ketiadaan PTUN di Maluku Utara dan Akses Masyarakat Terhadap Keadilan di Tengah Proyek Strategis Nasional
Trans Kieraha bisa saja menjadi proyek besar yang mengubah wajah Maluku Utara. Namun jika dibangun di atas ketidakjelasan, menyepelekan suara masyarakat, dan melewati kawasan sensitif ekologis, maka jalan ini tidak lebih dari jalur pengangkut nikel yang menegaskan struktur ketergantungan dan ekstraktivisme.
Kita tidak menolak pembangunan, kita menolak pembangunan yang tidak adil dan semestinya infrastruktur seharusnya memberi ruang hidup, martabat, dan masa depan bagi masyarakat Halmahera bukan hanya memperlancar arus ore ke industri nikel. (*)
