Oleh: Surya Rauf
Negeri ini, barangkali, terlalu serius dalam hal yang remeh dan terlalu remeh dalam hal yang serius. Uang negara bisa lenyap triliunan tanpa suara, tapi unggahan TikTok anak SMA berjoget di zebra cross bisa bikin forum RT sampai DPR ikut berdiskusi. Luar biasa. Negeri ini memang tidak main-main dalam urusan main-main.
Dimedia sosial seorang pengacara kondang sibuk menjelaskan Korupsi bukanlah penyakit akut untuk kemajuan bangsa, padahal KPK telah menyatakan dalam banyak kasus bahwa Korupsi menjadi satu faktor dari tidak majunya indonesia, begitu kerdil cara berfikir seseorang ketika membela klainnya hanya demi sebuah ketenaran tanpa memikirkan masa depan bangsa ini yang jelas mengalami kritis mental.
Saya tidak sedang bercanda, walaupun terdengar seperti lelucon. Ini fakta yang cukup getir, semacam “nyeplus” lombok ketika makan pangsit mie—ndak sengaja, bisa bikin lidah ndower.
Mari kita bicara soal literasi. Kata yang sering dipamerkan pejabat dalam seminar, tapi jarang dipakai dalam keputusan. Literasi itu, konon, penting supaya masyarakat berpikir. Tapi saya ragu, karena banyak yang mengira berpikir itu kegiatan terlarang. Nanti kalau kebanyakan mikir, bisa-bisa dianggap subversif.
Aneh memang. Negara ini bangga dengan angka-angka statistik, tapi tidak akrab dengan akal. Tiap tahun kita kirim ribuan mahasiswa ke luar negeri, tapi ketika pulang, mereka lebih sering disuruh diam atau jadi tukang pembenaran.
Yang menyedihkan bukan karena orang bodoh itu banyak—karena memang banyak—tetapi karena yang sedikit cerdas pun mulai ikut-ikutan jadi bodoh agar tidak dianggap sombong. Maka terjadilah demokrasi berisik, di mana yang menang bukan argumen terbaik, tapi suara paling keras dan akun paling banyak.
Menghina di negeri ini bukan lagi perkara ekspresi atau kritik yang tajam. Ia sudah jadi industri. Ada yang dibayar per tweet, ada yang rela dibayar pakai kupon pulsa. Ironisnya, meskipun banyak yang menghina setiap hari, kualitas hinaan kita tetap buruk. Tidak ada peningkatan mutu. Seperti mie instan tanpa bumbu, hanya pedas tapi hambar.
Bahkan untuk menghina pun kita tidak terdidik. Dulu, Bung Hatta bisa menyindir penjajah dengan bahasa halus tapi menusuk. Sekarang, orang menyindir temannya sendiri pakai meme hasil crop sembarangan dan caption “Lu goblok.” Jelas beda kelas.
Kita ini bangsa besar yang gagal menertawakan dirinya sendiri. Kalau ada yang bikin lelucon soal pejabat, langsung dikejar UU ITE. Tapi kalau ada pejabat yang bilang “harga naik itu tanda ekonomi sehat,” tidak ada yang tertawa, padahal itu lebih lucu dari sitkom Lapor Pak!.
Saya jadi rindu pada zaman ketika humor adalah cara berpikir, bukan sekadar pelarian. Zaman ketika kritik dilontarkan lewat tulisan tajam, bukan lewat adu mulut di kolom komentar. Ketika membaca buku bukan aktivitas langka, dan menulis opini tidak harus diawali dengan “Mohon maaf sebelumnya…”
Republik ini tidak akan runtuh karena lawan politik, tapi bisa goyah oleh banjir kebodohan yang dibiarkan mengalir deras tanpa bendungan akal sehat. Literasi bukan soal bisa membaca, tetapi soal bisa berpikir. Kalau sekadar membaca, kambing pun bisa, asal tulisannya rumput.
Jadi saran saya sederhana. Kalau tidak ingin berpikir, jangan hina orang. Dan kalau ingin menghina, belajarlah berpikir dulu. Karena hinaan yang baik itu seperti silet—tajam tapi tidak sembarangan menggores. Kalau tidak bisa begitu, lebih baik kembali ke metode lama: tutup mulut dan buka buku.
Saya tahu, tulisan ini tidak akan dibaca oleh mereka yang seharusnya membaca. Mereka sibuk membuat klarifikasi atas klarifikasi. Tapi tak apa. Menulis adalah bagian dari perlawanan. Setidaknya kalau negeri ini tenggelam, kita bisa bilang sudah pernah berteriak. Meski pelan, tapi tidak diam.
Dan pada akhirnya, saya hanya ingin bilang satu hal, Negara ini perlu literasi. Karena bahkan untuk menghina pun kita belum terdidik. (*)
**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.
