Menerka Arah Kaderisasi: Konflik Internal KAMMI Pusat dan Ketakutan Komisariat

Oleh: Muhammad Alsaf Lobiua | Ketum KAMMI komisariat IAIN Ternate

 

Gemuruh konflik internal di tubuh pengurus pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) bukan hanya menjadi headline yang memalukan di kalangan internal. Ia bagai gempa yang getarnya sampai jauh ke pelosok komisariat, menggetarkan fondasi paling krusial dari setiap organisasi: proses pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kaderisasi.

Bagi kader di komisariat-komisariat kampus, pusat adalah lebih dari sekadar struktur kepengurusan. Ia adalah panutan, sumber inspirasi, dan penjamin masa depan organisasi.

Nilai-nilai ukhuwah, integritas, kepemimpinan, dan kejelasan visi yang mereka harapkan dari pusat adalah bahan bakar yang menyalakan semangat mereka untuk merekrut, melatih, dan membina kader-kader baru.

Baca Juga:

Menghina Butuh Literasi

Kenyataan pahitnya, konflik yang terjadi justru memberikan bayangan kelam dan menimbulkan ketakutan mendalam di tingkat komisariat.

Pertama, krisis keteladanan. Bagaimana mungkin kader di komisariat bisa dengan yakin mengajarkan nilai-nilai persatuan, musyawarah, dan etika berorganisasi jika yang mereka tunjukkan kepada calon kader adalah contoh buruk dari pusat? Proses kaderisasi dibangun di atas keteladanan (qudwah hasanah).

Ketika figur yang seharusnya menjadi teladan justru sibuk berkonflik, materi training apa pun yang diajarkan akan kehilangan roh dan kredibilitasnya. Calon kader akan bertanya, “Untuk apa saya belajar manajemen konflik jika yang di pusat saja tidak bisa?”

Kedua, ketidakpastian arah dan kurikulum. Konflik internal biasanya berakar pada perbedaan visi dan orientasi pergerakan. Perbedaan ini berpotensi memicu “krisis standarisasi” dalam kaderisasi. Komisariat menjadi gamang: Visi seperti apa yang harus ditanamkan? Apakah materi kaderisasi yang selama ini digunakan masih relevan dengan arah baru (jika ada) yang diperebutkan di pusat? Ketidakjelasan ini berisiko menciptakan generasi kader yang fragmented, tidak memiliki kesatuan pemahaman dan visi yang kuat, karena dibesarkan dalam bayang-bayang kebingungan.

Baca Juga:

Ketiadaan PTUN di Maluku Utara dan Akses Masyarakat Terhadap Keadilan di Tengah Proyek Strategis Nasional

Ketiga, terputusnya regenerasi kepemimpinan.Pengurus pusat adalah puncak dari piramida kaderisasi. Mereka adalah produk terbaik yang dihasilkan oleh sistem. Ketika produk terbaik ini menunjukkan kinerja yang buruk, hal itu memunculkan pertanyaan mendasar tentang keberhasilan sistem kaderisasi itu sendiri.

Kader di komisariat akan mempertanyakan, “Untuk apa saya berjuang hingga ke level nasional jika ujung-ujungnya hanya untuk terlibat dalam konflik yang tidak produktif?” Ini berpotensi mematikan motivasi kader terbaik untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga memutus mata rantai regenerasi kepemimpinan nasional yang berkualitas.

Keempat, disorientasi program. Komisariat seringkali mengandalkan pusat untuk program pengembangan SDM lanjutan, seperti sekolah kader nasional, pelatihan khusus, dan pertukaran ilmu. Konflik yang memecah belah energi pusat akan membuat program-program strategis ini terabaikan.

Alih-alih fokus menyusun kurikulum mutakhir untuk menjawab tantangan zaman, energi habis untuk mengurusi dinamika internal. Akibatnya, komisariat kehilangan akses terhadap pengembangan kapasitas yang mereka butuhkan untuk mencetak kader yang unggul.

Apa yang harus dilakukan oleh Pemimpin?

Pemimpin KAMMI Pusat harus segera menyadari bahwa yang dipertaruhkan bukanlah jabatan atau kemenangan satu kelompok atas kelompok lain, melainkan masa depan ribuan kader muda di seluruh Indonesia. Mereka harus segera berbenah:

Baca Juga:

Masyarakat Adat Pulau Umiyal Menolak Keras Pengambilalihan Tiga Pula Oleh Pemda Papua Barat Daya

1. Rekonsiliasi Segera: Menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang beradab dan elegan, mengedepankan musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama tentang visi ke depan.

2. Komunikasi Intensif ke Komisariat: Memberikan penjelasan yang transparan dan meyakinkan bahwa proses kaderisasi harus tetap berjalan. Berikan afirmasi bahwa pengembangan SDM adalah prioritas yang tidak akan terganggu.

3. Konsolidasi Program SDM: Segera meluncurkan program-program pengembangan SDM yang jelas dan terstruktur untuk menunjukkan komitmen mereka pada masa depan organisasi

konflik di pusat bukanlah drama yang hanya bisa ditonton oleh komisariat. Ia adalah ancaman eksistensial yang langsung menyasar jantung organisasi: kaderisasi. Setiap hari konflik dibiarkan, sama dengan membiarkan masa depan KAMMI sebagai pencetak kader umat dan bangsa menjadi suram.

Pemimpin yang bijak adalah yang segera meletakkan ego, dan memilih untuk menyelamatkan generasi penerus. Karena jika tidak, komisariat hanya akan menghasilkan kader-kader yang takut dan pesimis, kehilangan keyakinan pada panji-panji organisasi yang mereka cintai. (*)

 

 

**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *