Membangun Gerakan dengan Membaca SWOT: Strategi Kesadaran Massa dalam Konteks Maluku Utara

Oleh: Hasbi Ade | Mahasiswa Manajemen Pendidikan Islam

Gerakan sosial di Maluku Utara hari ini berdiri di persimpangan. Di satu sisi, tanah ini menyimpan jejak panjang perlawanan rakyat terhadap kolonialisme, seperti perlawanan Sultan Baabullah yang mengusir Portugis, strategi diplomasi Sultan Tidore, hingga perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Di sisi lain, sejarah panjang itu kini berhadapan dengan kolonialisme baru dalam bentuk industri ekstraktif. Tambang nikel di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tambang emas di Obi, hingga ekspansi perkebunan besar menancapkan kuku-kuku modal asing di tanah leluhur. Rakyat di janjikan pembangunan dan lapangan kerja yang justru menghadapi penggusuran, kerusakan lingkungan, dan hilangnya ruang hidup.

Dalam kondisi semacam itu, gerakan rakyat tidak bisa berhenti pada retorika moral atau protes sporadis. Diperlukan analisa yang tajam dan strategi yang matang agar perjuangan tidak menjadi api padam sesaat.

Baca Juga:

Gagalnya Kepolisian Kota Ternate Menjalankan Mandat Konstitusi

Salah satu pisau analisis yang bisa dipakai adalah SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats). Meski berakar dari dunia manajemen dan bisnis, SWOT dapat dijadikan senjata politik untuk membaca kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman gerakan.

Tan Malaka pernah menegaskan bahwa perjuangan harus berpijak pada ilmu pengetahuan dan kesadaran rakyat. Tanpa kesadaran, massa hanyalah kerumunan yang mudah diarahkan lawan.

Dengan SWOT, gerakan rakyat di Maluku Utara dapat melatih diri untuk membaca zaman, merumuskan langkah, dan mengubah penderitaan rakyat menjadi kekuatan kolektif.

Membaca kekuatan (strengths) berarti mengenali modal sosial yang telah ada. Maluku Utara masih memiliki ikatan adat yang kuat. Di Halmahera, masyarakat adat masih memandang tanah dan hutan sebagai warisan leluhur yang tidak boleh dijual.

Baca Juga:

Polemik Pulau Sain Kembali Mencuat, Pemda Papua Barat Daya Berkunjung ke Pulau Sain: Ada Apa?

Solidaritas kolektif muncul ketika tambang mulai merusak kebun dan laut. Di Obi, misalnya, nelayan yang kehilangan daerah tangkap mulai membangun solidaritas dengan petani yang lahannya digusur.

Kekuatan lain datang dari mahasiswa dan organisasi pemuda yang menjadi corong isu rakyat di jalanan maupun di ruang digital. Jaringan lintas kampus ini sering mengangkat isu lokal menjadi isu nasional. Semua ini adalah modal besar: kesadaran kolektif yang berakar pada budaya dan diperkuat oleh generasi muda terdidik.

Namun di balik itu ada kelemahan (weaknesses). Fragmentasi organisasi menjadi masalah klasik. Gerakan mahasiswa pecah ke dalam banyak organisasi dengan ideologi dan agenda berbeda.

Komunitas rakyat di kampung kerap terbelah karena sebagian menerima janji perusahaan, sementara sebagian lain menolak. Perusahaan pandai memainkan politik pecah-belah, membeli loyalitas tokoh adat atau kepala desa dengan dana CSR.

Kelemahan lain adalah minimnya pendidikan politik. Banyak massa aksi hanya bergerak karena emosi sesaat, tanpa pemahaman mendalam. Akibatnya, setelah aksi bubar, semangat pun padam. Tan Malaka pernah mengingatkan bahwa tanpa pendidikan politik, gerakan akan mudah dipatahkan dari dalam.

Baca Juga:

Pulau Jiew: Gerbang Strategis di Bibir Samudera Pasifik

Meski begitu, terbuka pula peluang (opportunities). Kerusakan lingkungan akibat tambang kini nyata di depan mata. Sungai di Weda dan Halmahera Timur berubah warna, air sumur di desa-desa sekitar tambang tercemar, laut di Obi penuh limbah tailing.

Kondisi ini membuat rakyat semakin sadar bahwa janji kesejahteraan hanyalah ilusi. Momentum politik, seperti pemilu atau konflik kebijakan, juga membuka ruang bagi gerakan rakyat untuk menekan pemerintah daerah.

Selain itu, media sosial memungkinkan suara dari desa-desa kecil menggema hingga tingkat nasional. Ketika warga Obi menolak tailing laut, misalnya, isu itu bisa menyebar ke Jakarta dan mengundang perhatian publik luas.

Gramsci pernah menyebut bahwa momen seperti ini sebagai krisis hegemoni, ketika penguasa kehilangan legitimasi, rakyat mencari arah baru, dan di situlah alternatif bisa ditawarkan.

Tetapi setiap peluang selalu dibayangi oleh ancaman (threats). Di Maluku Utara, ancaman nyata datang dari represi aparat. Aktivis yang menolak tambang kerap dikriminalisasi. Di Weda, warga yang menolak pembebasan lahan ditangkap.

Baca Juga:

KOHATI Ternate: Pemukulan Kader HMI, Luka Demokrasi

Di Halmahera Timur, mahasiswa yang menggelar aksi sering dibubarkan dengan kekerasan. Ancaman lain adalah kooptasi: perusahaan dengan modal besar sanggup membeli tokoh masyarakat atau mahasiswa untuk melemahkan perlawanan. Bahkan konflik horizontal di kampung sering dipicu oleh politik adu domba perusahaan. Ancaman ideologis juga hadir, seperti arus kapitalisme global membuat rakyat sibuk mengejar konsumsi, sehingga lupa pada perjuangan kolektif.

Dari pemetaan SWOT ini, gerakan di Maluku Utara bisa merumuskan strategi. Kekuatan berupa solidaritas adat dan jaringan mahasiswa harus digunakan untuk memanfaatkan peluang krisis lingkungan. Kelemahan berupa fragmentasi organisasi harus diatasi dengan konsolidasi lintas kabupaten. Ancaman berupa represi negara harus dijadikan propaganda: setiap kriminalisasi bisa menjadi bukti kepada publik bahwa negara lebih melindungi modal daripada rakyat.

Contoh konkret terlihat dalam gerakan warga Pulau Obi yang menolak pembuangan limbah tailing ke laut. Kekuatan mereka terletak pada solidaritas nelayan dan petani, peluang ada pada isu lingkungan yang kini mendapat perhatian nasional, sementara ancaman datang dari perusahaan besar yang memiliki dukungan aparat.

Dengan membaca SWOT, strategi gerakan dapat diarahkan untuk memperkuat konsolidasi internal, memperluas jejaring solidaritas, serta mengubah represi menjadi alat propaganda.

Baca Juga:

Oknum Polisi Resmi Dilaporkan ke Propam Polres Halsel Atas Dugaan Pemukulan Kader HMI Badko Malut

Di Halmahera Tengah, gerakan mahasiswa dan masyarakat adat yang menolak perluasan kawasan industri nikel juga dapat membaca SWOT. Kekuatan berupa basis komunitas adat, kelemahan berupa minimnya pendidikan politik, peluang berupa kerusakan lingkungan yang semakin parah, dan ancaman berupa kriminalisasi.

Dengan pemetaan ini, gerakan bisa melangkah lebih strategis: membangun sekolah politik rakyat, memperkuat media alternatif, dan menggalang solidaritas lintas daerah.

Namun analisa tidak cukup tanpa strategi komunikasi. Tan Malaka mengingatkan bahwa massa hanya bergerak jika kepentingannya langsung dirasakan. Karena itu, gerakan di Maluku Utara harus berbicara dengan bahasa rakyat.

Isu lingkungan harus diterjemahkan dalam bahasa sehari-hari: “air minum kita kotor,” “laut kita tidak lagi memberi ikan,” “tanah kita tidak bisa ditanami.” Dengan bahasa sederhana, rakyat akan merasa langsung terhubung dengan isu. Seni, budaya, dan ritual adat juga dapat dijadikan medium komunikasi agar pesan masuk ke hati rakyat.

Sementara itu, penguasaan media sosial menjadi penting. Gerakan tidak boleh berhenti pada aksi di jalanan Ternate atau Sofifi. Narasi harus diperluas ke ruang virtual. Dokumentasi video tentang kerusakan lingkungan, kisah nelayan yang kehilangan laut, atau petani yang kehilangan kebun bisa menyentuh publik nasional. Perang ideologi hari ini tidak hanya berlangsung di jalan, tetapi juga di dunia digital.

Baca Juga:

Formateur HMI Ternate Desak Kapolres Halsel Dicopot Usai Dugaan Kekerasan terhadap Kader Perempuan

Membangun gerakan dengan SWOT berarti membangun kesadaran utuh: kekuatan dan kelemahan adalah soal internal, peluang dan ancaman adalah soal eksternal. Keempatnya harus dibaca bersamaan. Tan Malaka, Lenin, dan Gramsci memberi pelajaran bahwa gerakan yang berhasil adalah gerakan yang memadukan analisa ilmiah dengan kesadaran massa.

Gerakan rakyat di Maluku Utara tidak boleh berhenti sebagai letupan sesaat ketika ada konflik tambang. Ia harus tumbuh menjadi gerakan panjang yang mampu mempengaruhi opini publik, membentuk kesadaran, dan menekan kekuasaan. SWOT adalah kompas agar gerakan tidak tersesat dalam euforia, tidak lumpuh oleh kelemahan, tidak kehilangan peluang, dan tidak hancur oleh ancaman.

Pada akhirnya, membangun gerakan di Maluku Utara adalah membangun kesadaran bahwa rakyat berhak atas tanah, laut, dan masa depan mereka. Tan Malaka pernah berkata bahwa ilmu dan kesadaran adalah senjata paling ampuh melawan penindasan.

Bagi rakyat Maluku Utara, senjata itu harus dipakai untuk melawan kolonialisme baru bernama industri ekstraktif. Dengan membaca SWOT, gerakan rakyat dapat melangkah lebih pasti: bukan hanya menyuarakan tuntutan, tetapi benar-benar menggerakkan massa menuju perubahan yang adil. (*)

 

**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *