Integritas Ali bin Abi Thalib sebagai Dasar Etika dalam Menghadapi Dinamika Kampus

Oleh: M. Tamhier Tamrin | Mahasiswa FIB UNKHAIR

Semakin lama saya terlibat dalam organisasi kemahasiswaan internal, semakin menyadari bahwa ruang ini menyimpan dinamika jauh lebih kompleks dari yang dibayangkan banyak orang. Organisasi sering kali menjadi arena di mana karakter seseorang benar-benar teruji.

Ada rapat yang berjalan lancar, namun juga ada yang mendadak memanas hanya karena kesalahpahaman kecil. Ada program yang dirancang matang, tetapi harus disesuaikan kembali akibat perubahan kebijakan dari pihak kampus. Perdebatan sehat memang kerap terjadi, namun tak jarang pula muncul ketegangan yang tak jelas asal-usulnya. Dalam suasana seperti itu, saya merasa perlu memiliki nilai yang dapat dijadikan kompas agar tidak terbawa arus.

Nilai-nilai yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib menjadi salah satu pegangan saya dalam menghadapi dinamika organisasi tersebut. Nilai kejujuran yang apa adanya, komunikasi yang jelas, kemampuan melihat situasi secara menyeluruh, dan sikap menjaga amanah terasa sangat relevan dalam ruang organisasi yang penuh dengan interaksi dan perbedaan pendapat. Ketika suasana rapat memanas atau muncul keputusan yang rumit, nilai-nilai tersebut memberikan arahan agar sikap saya tetap terjaga dengan baik.

Baca juga:

Generasi Muda dan Kekuasaan: Menyingkap Dilema Idealisme vs Pragmatisme

Dalam buku Psikologi Ibnu Sina dijelaskan bahwa struktur jiwa terdiri dari daya berpikir, daya keinginan, dan daya bereaksi. Ketiganya dapat menjadi kekuatan jika berada dalam keseimbangan, namun juga bisa menjadi sumber kekacauan jika tidak diarahkan dengan benar.

Penjelasan mengenai keseimbangan jiwa tersebut dapat ditemukan dalam banyak situasi organisasi. Ada rapat yang kacau karena peserta berbicara didorong emosi, keputusan yang kurang matang karena diambil secara tergesa-gesa, atau situasi di mana seseorang menginginkan jabatan tertentu padahal belum siap dengan tanggung jawabnya.

Dari sinilah saya memahami mengapa Ibnu Sina menekankan pentingnya daya berpikir sebagai pengarah. Ketika akal menjadi dasar pertimbangan, suasana organisasi pun akan lebih terkendali.

Organisasi kemahasiswaan adalah tempat yang paling sering menguji keseimbangan tersebut. Saya pernah menerima beberapa tanggung jawab sekaligus karena takut dianggap tidak mampu. Namun keputusan itu ternyata berdampak buruk pada ritme kerja organisasi—beberapa tugas menjadi tertunda dan teman-teman lainnya ikut terdampak.

Baca juga:
Dari Ruang Akademik ke Ruang Trauma

Dari pengalaman tersebut saya belajar bahwa kejujuran terhadap kemampuan diri merupakan bagian penting dari menjaga amanah. Ketika saya berani menyampaikan apa yang bisa saya kerjakan dan apa yang belum sanggup lakukan, pekerjaan organisasi dapat berjalan lebih lancar. Dalam menjalankan aktivitas organisasi, saya selalu mengingat satu ayat Al-Qur’an:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
(Surah An-Nisa’, ayat 58)

Ayat ini mengingatkan bahwa amanah bukan hanya berkaitan dengan jabatan besar dalam organisasi. Amanah adalah setiap tugas yang dipercayakan kepada saya, baik yang besar seperti mengoordinasikan kegiatan kampus maupun yang kecil seperti menyiapkan undangan rapat.

Organisasi sering kali terhambat bukan karena kekurangan ide, melainkan karena amanah kecil yang diabaikan. Ayat tersebut membuat saya lebih berhati-hati dalam menerima dan menjalankan setiap tanggung jawab.nUntuk menggambarkan relevansinya dalam dinamika organisasi, dua contoh sudah cukup mewakilinya.

Baca juga:
Kampus Harus Aman: Seruan Tegas Mengakhiri Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Contoh pertama terjadi pada proses penyusunan program kerja. Biasanya, program kerja dibuat berdasarkan pola tahun sebelumnya. Namun pada suatu masa, saya dan beberapa anggota mencoba meninjau ulang kebutuhan mahasiswa secara lebih objektif.

Kami mengidentifikasi program yang benar-benar bermanfaat dan yang hanya sekadar mengisi kalender. Dengan melihat situasi secara lebih jernih, program kerja akhirnya dapat disusun lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan organisasi.

Contoh kedua muncul dalam rapat internal yang membahas pembagian peran. Rapat semacam ini seringkali menjadi tempat munculnya ketegangan karena setiap orang memiliki pandangan berbeda. Namun ketika saya menjelaskan batas kemampuan saya dengan jujur dan berkomunikasi secara jelas, suasana rapat menjadi lebih tenang. Teman-teman lain pun ikut bersikap terbuka, sehingga pembagian peran berlangsung lancar dan tidak ada lagi tumpang tindih tugas.

Baca juga:

Antara Diamnya Lembaga dan Luka Terhadap Korban

Dari berbagai pengalaman tersebut, saya melihat bahwa nilai-nilai yang ditunjukkan Ali bin Abi Thalib sejalan dengan penjelasan tentang jiwa dalam Psikologi Ibnu Sina serta pesan tentang amanah dalam Al-Qur’an. Nilai-nilai tersebut tidak menuntut saya untuk melakukan hal-hal besar.

Justru penerapannya dalam tugas-tugas kecil sehari-hari yang membuat organisasi kemahasiswaan internal dapat berjalan lebih stabil. Menata diri, menjaga kejujuran, berkomunikasi dengan jelas, dan menjalankan amanah adalah langkah-langkah yang membuat dinamika organisasi menjadi lebih sehat.

Organisasi kemahasiswaan mungkin tidak akan pernah sepenuhnya teratur karena selalu ada orang baru, cara kerja baru, dan pandangan baru. Namun dengan nilai-nilai tersebut, saya merasa lebih siap menghadapi perubahan dan mampu mengendalikan diri di tengah dinamika internal yang sering bergerak secara tidak terduga. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *