Oleh: Muhammad Ilham Almadani | Mahasiswa Program Studi Sastra Inggris Unkhair Ternate
Ironisnya, sebagian kalangan mulai meragukan apakah generasi muda masih dapat menjadi tumpuan harapan dalam upaya membangun sistem yang lebih adil. Harapan itu awalnya tumbuh karena dinamisme mereka, pemahaman atas isu-isu kontemporer, serta semangat untuk mengubah kondisi yang dianggap bertentangan dengan nilai keadilan.
Keraguan mulai muncul ketika dalam berbagai situasi, saat berada di posisi lemah atau di luar lingkup kekuasaan, generasi muda lantang mengeluhkan ketidakadilan, merasa tertindas oleh struktur yang ada, dan menuntut perlakuan yang setara. Mereka tampil sebagai suara kelompok rentan, mengkritik praktik-praktik yang memarginalkan, dan menawarkan visi pembangunan yang lebih inklusif.
Namun, ketika kesempatan memegang kekuasaan hadirābaik di organisasi, institusi, maupun pada posisi kepemimpinan, sebagian dari mereka justru mengulangi pola yang sebelumnya mereka kritik. Mereka membatasi akses kelompok lemah terhadap sumber daya, mereduksi kebebasan menyampaikan aspirasi, atau menerapkan kebijakan yang tidak ramah bagi pihak yang rentan.
Baca juga:
Negara Harus Berpihak Kepada Kepentingan Rakyat
Fenomena ini kerap dipicu oleh tantangan praktis dalam menjalankan perubahan, tekanan dari berbagai pihak, atau minimnya kesiapan mengelola kekuasaan secara bertanggung jawab.
Kondisi semacam ini membuat harapan akan perubahan yang lebih baik menjadi tergerus. Konsistensi memperjuangkan keadilan tampaknya belum sepenuhnya hadir dalam praktik kepemimpinan. Meski demikian, generalisasi tentu tidak adil: masih banyak anak muda yang tetap memegang teguh komitmen untuk membangun sistem yang lebih adil dan inklusif ketika diberi amanah kekuasaan.
Pada masa Orde Baru, banyak pemuda aktif menentang penyensoran, korupsi, dan penindasan dalam sistem otoriter. Mereka menjadi suara bagi rakyat kecil, mengkritik struktur kekuasaan yang timpang, dan memimpikan sistem politik yang lebih terbuka.
Namun ketika era Reformasi datang dan sebagian dari mereka memperoleh posisi strategisābaik di parlemen, pemerintahan, maupun organisasiāsebagian di antaranya mengulangi pola lama: memanfaatkan kekuasaan demi kepentingan kelompok, membatasi perbedaan pendapat, dan mengabaikan kepentingan masyarakat rentan.
Baca juga:
Dari Ruang Akademik ke Ruang Trauma
Dinamika ini terus berlanjut hingga kini. Di balik semangat perlawanan generasi 1998 maupun generasi muda saat ini, tersimpan potensi kekecewaan: perubahan sikap terhadap keadilan ketika kekuasaan sudah berada di tangan. Banyak aktivis ā98 kini berada dalam lingkaran kekuasaan atau kabinet Presiden Prabowo Subiantoāfigur yang berasal dari latar politik Orde Baru yang dulu mereka kritik.
Nama-nama seperti Budiman Sudjatmiko, kini Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP2SK), serta Faisol Riza, korban penculikan aktivis 1998 yang kini menjabat sebagai anggota DPR sekaligus Wakil Ketua Umum PKB, menunjukkan bagaimana idealisme masa lalu kerap harus bergesekan dengan realitas politik hari ini.
Untuk memahami fenomena ini, kita dapat merujuk pada konsep Max Weber tentang etika keyakinan dan etika tanggung jawab. Weber menggambarkan dua pendekatan moral dalam politik yang sering berbenturan dan memengaruhi transformasi idealisme ketika memasuki dunia kekuasaan.
Etika keyakinan berpijak pada nilai dan integritas, tanpa mempertimbangkan dampak praktis. Sikap inilah yang kerap terlihat pada generasi muda yang belum terikat kepentingan politik, finansial, atau birokrasi. Dalam kerangka ini, seseorang merasa bertanggung jawab hanya atas niat baiknya, bukan pada konsekuensi nyata dari tindakannya.
Baca juga:
Kampus Harus Aman: Seruan Tegas Mengakhiri Kekerasan Seksual terhadapĀ Perempuan
Sebaliknya, etika tanggung jawab menuntut keputusan yang mempertimbangkan konsekuensi, konteks, serta batasan sistem. Pendekatan ini menjadi dominan ketika seseorang masuk dalam lingkup kekuasaan, di mana setiap keputusan memiliki dampak luas dan nyata. Dalam logika ini, individu bertanggung jawab bukan hanya atas niat, tetapi juga atas hasil dari tindakan politiknya.
Weber memandang bahwa kedua pendekatan ini tidak seharusnya dipertentangkan, melainkan dipadukan. Integrasi idealisme dan pragmatisme dapat menjadi jalan keluar untuk memutus pola berulang yang sering menjebak generasi muda ketika memasuki arena kekuasaan.
Dengan memadukan nilai-nilai moral yang dipegang teguh dengan pertimbangan rasional yang realistis, kepemimpinan dapat dijalankan tanpa kehilangan integritas ataupun efektivitas. Pada titik inilah dilema intelektual dapat teratasi, dan harapan atas generasi muda sebagai agen perubahan menemukan pijakannya kembali.Ā (*)
