Generasi Muda dan Ancaman Seks Bebas di Era Digital

Oleh: Rosanti Fatmona

Usia remaja merupakan fase kehidupan yang sering disebut sebagai masa rawan. Kemajuan teknologi yang pesat turut memperluas ruang pergaulan remaja tanpa batas yang jelas. Pergaulan bebas pun menjadi bahaya fundamental yang dihadapi oleh kalangan remaja saat ini. Tidak hanya itu, fenomena tersebut juga menjadi sumber kekhawatiran yang besar bagi para orang tua.

Kita sering mendengar ungkapan bahwa masa remaja adalah masa abu-abu yang penuh ekspresi, yakni masa peralihan dari kanak-kanak menuju kedewasaan. Di sisi lain, manusia merupakan makhluk sosial yang dalam aktivitasnya membutuhkan orang lain.

Hubungan antarmanusia dibangun melalui pergaulan atau interpersonal relationship. Pergaulan sendiri merupakan salah satu hak asasi manusia yang patut dijunjung tinggi, sehingga setiap individu tidak seharusnya dibatasi atau didiskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, budaya, dan latar belakang lainnya.

Baca juga:
Dari Ruang Akademik ke Ruang Trauma

Namun, pada realitasnya, di zaman sekarang banyak anak muda yang menganggap seks bebas sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal, jika ditelaah lebih mendalam, perilaku tersebut memiliki dampak yang sangat kompleks dan berbahaya, salah satunya adalah risiko tertular penyakit menular seksual seperti Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).

Berdasarkan data WHO, lebih dari 500 juta remaja usia 10–14 tahun di seluruh dunia, khususnya di negara berkembang, dilaporkan telah melakukan hubungan seksual pertama sebelum usia 15 tahun (Biyanzah et al., 2024). Data BKKBN tahun 2024 menunjukkan bahwa rata-rata usia remaja yang melakukan hubungan seksual berada pada rentang usia 15–19 tahun. Persentase perempuan usia 15–19 tahun yang pernah melakukan hubungan seksual mencapai 59%, sementara pada laki-laki berada pada angka 74%.

Sementara itu, data Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2020 menunjukkan bahwa persentase remaja berusia 15–24 tahun yang belum menikah namun pernah melakukan hubungan seksual pranikah sebesar 0,9% pada perempuan usia 15–19 tahun dan 2,6% pada perempuan usia 20–24 tahun.

Baca juga:
Kampus Harus Aman: Seruan Tegas Mengakhiri Kekerasan Seksual terhadap Perempuan

Adapun pada laki-laki, persentasenya mencapai 3,6% untuk usia 15–19 tahun dan 14% untuk usia 20–24 tahun. Tim Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) juga menemukan bahwa alasan utama hubungan seksual pertama adalah perasaan saling mencintai, dengan persentase 54% pada perempuan dan 46% pada laki-laki (Kesehatan, 2020).

Fenomena ini tidak dapat dilepaskan dari peran teknologi yang semakin mendominasi kehidupan remaja. Hampir seluruh remaja, khususnya yang masih duduk di bangku sekolah, tidak terpisahkan dari perangkat teknologi canggih yang mudah diakses melalui televisi maupun internet. Media sosial menjadi tren di kalangan remaja yang tidak hanya membawa dampak positif, tetapi juga berpotensi memberikan pengaruh negatif terhadap perilaku dan pola pikir mereka.

Hubungan seks bebas pada akhirnya berkontribusi terhadap degradasi moral remaja dengan dampak yang cukup fatal. Padahal, kebebasan yang ada seharusnya menjadi sarana untuk mengembangkan berbagai potensi diri dan kemampuan positif yang belum pernah ada sebelumnya. Kenyataannya, kebebasan tersebut justru kerap disalahgunakan hingga membinasakan potensi kemanusiaan itu sendiri.

Baca juga:
Antara Diamnya Lembaga dan Luka Terhadap Korban

Fenomena ini tentu tidak terlepas dari peran orang tua dalam mensosialisasikan pendidikan seks kepada anak. Pendidikan seks memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk pemahaman dan sikap remaja terhadap kesehatan reproduksi.

Ketidakmampuan orang tua dalam mengomunikasikan pendidikan seks secara tepat dapat berdampak pada perilaku seksual berisiko. Selain faktor keluarga, pengaruh teman sebaya juga menjadi fenomena yang cukup kompleks. Secara teoretis, Hurlock (2008) menyatakan bahwa teman sebaya memiliki peran yang sangat vital dan berpengaruh dalam kehidupan remaja.

Oleh karena itu, penting untuk menanamkan kesadaran bersama serta membangun komitmen kolektif dalam menjaga keluarga dan generasi muda dari bahaya seks bebas. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *