Oleh: Rosanti Fatmona | Kabid BP KAMMI Daerah Ternate
Belakangan ini kita kembali disuguhkan pemberitaan mengenai kasus yang tidak lagi asing di telinga yakni pelecehan seksual di lingkungan akademik. Sebagai perempuan, keresahan tentu semakin terasa ketika pelaku merupakan oknum pejabat kampus, orang yang semestinya menjadi pendidik dan panutan bagi mahasiswa.
Baru-baru ini, seorang mahasiswi Universitas Khairun Ternate menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu pejabat kampus tersebut.
Baca juga:
Kampus Harus Aman: Seruan Tegas Mengakhiri Kekerasan Seksual terhadap Perempuan
Selama ini, kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi kerap dipahami sebatas tindakan menyimpang atau persoalan moral semata. Padahal, jika dicermati lebih jauh, fenomena ini jauh lebih kompleks dan berbahaya. Kampus bukan hanya ruang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga ruang sosial yang memuat relasi kuasa, norma, serta nilai-nilai yang saling berkelindan.
Kampus semestinya menjadi ruang relasi yang sehatâantara dosen dan mahasiswa, senior dan junior, maupun laki-laki dan perempuan. Namun, kenyataannya relasi-relasi ini sering tidak berjalan setara dan tidak ditempatkan pada porsi yang seharusnya.
Baca juga:
Antara Diamnya Lembaga dan Luka Terhadap Korban
Kekerasan seksual tidak lahir dari individu semata, tetapi juga dari sistem sosial yang timpang dan penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya berada pada jabatan formal, tetapi juga tersebar melalui norma dan praktik sosial sehari-hari.
Dalam konteks kampus, kekuasaan muncul dalam bentuk otoritas akademik, penilaian, hingga relasi bimbingan yang sekilas tampak wajar, namun menyimpan potensi dominasi. Hal ini tercermin jelas pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di Universitas Khairun Ternate. Dalam laporan LPM MANTRA, disebutkan bahwa korban dilecehkan saat mengurus administrasi kuliah, situasi ini seharusnya aman dan bebas dari intimidasi.
Baca juga:
Negara Harus Berpihak Kepada Kepentingan Rakyat
Kampus adalah tempat mendidik calon-calon pendidik masa depan, sehingga wajib menjadi ruang yang aman, terutama bagi mahasiswa perempuan. Jika pelaku diberi toleransi atau sanksi yang ringan, maka dapat dikatakan bahwa pihak kampus gagal dalam berpikir dan bertindak.
Korban berhak mendapatkan keadilan, sebab kekerasan seksual menyisakan trauma panjang dan berdampak serius pada kesehatan mental. Pemulihan membutuhkan waktu dan dukungan yang berkelanjutan.
Karena itu, Bidang Perempuan KAMMI Daerah Ternate menegaskan bahwa pihak kampus harus memberikan sanksi tegas dan adil kepada pelaku, agar tidak muncul lagi korban-korban berikutnya di lingkungan akademik.
Maka penulis mengajak seluruh elemen gerakan perempuan untuk terus mengawal proses ini dan berdiri bersama korban hingga keadilan benar-benar ditegakkan. (*)
