Gagalnya Kepolisian Kota Ternate Menjalankan Mandat Konstitusi

Oleh: Jihan Hi Sabtu

Konstitusi negara ini dengan tegas menjamin kemerdekaan setiap warga untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat. Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Jaminan konstitusional tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Namun, praktik di lapangan justru menunjukkan hal yang berlawanan. Peristiwa pada 1 September 2025 di Kelurahan Kalumata, Ternate, menjadi bukti nyata bagaimana aparat kepolisian yang seharusnya melindungi justru bertindak represif.

Tindakan agresif aparat saat menghadapi mahasiswa dan masyarakat yang menyuarakan aspirasi mengakibatkan jatuhnya korban, bahkan ada yang harus dilarikan ke rumah sakit.

Padahal, asas ketidakberpihakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dengan jelas menyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah wajib bertindak adil, tidak diskriminatif, dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak.

Prinsip ini sejalan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak warga negara atas pengakuan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.

Fakta bahwa aparat kepolisian Kota Ternate melakukan tindakan represif merupakan bentuk pelanggaran terhadap prinsip-prinsip tersebut.

Hak warga negara yang dilindungi konstitusi seolah diabaikan, sementara aparat yang seharusnya menjadi instrumen hukum justru menjadi pihak yang menimbulkan rasa tidak aman.

Perlu ditegaskan kembali, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menempatkan polisi sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat. Tugas utama kepolisian adalah memastikan keselamatan rakyat, bukan sebaliknya.

Sayangnya, kepolisian Kota Ternate, khususnya di bawah kepemimpinan Kapolres, gagal menunjukkan peran tersebut. Alih-alih menjamin kebebasan berekspresi dan keselamatan warga, tindakan represif yang dilakukan justru memperlihatkan wajah otoritarian yang mencederai nilai demokrasi.

Sebagai Wakil Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum, saya menegaskan: apabila kepolisian Kota Ternate tidak mampu menjalankan amanat undang-undang untuk melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, maka sudah sewajarnya pimpinan kepolisian di kota ini mempertimbangkan untuk mundur dari jabatannya. Sebab, jabatan adalah amanah, bukan sekadar kedudukan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *