Pulau Jiew: Gerbang Strategis di Bibir Samudera Pasifik

Halmahera Tengah, Intronasantara — Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai sepanjang 99.000 kilometer dan ribuan pulau yang menyebar dari Sabang hingga Merauke.

Di antara itu, ada 111 pulau terluar yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 dan diperkuat lagi dengan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2022 tentang pengelolaan batas wilayah negara.

Pulau-pulau ini adalah garda terdepan kedaulatan, sekaligus penanda eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia di tengah persaingan ekonomi global yang semakin kompleks.

Baca Juga:

Ribuan Mahasiswa Geruduk DPRD Ternate, Desak Pembubaran DPR RI dan Copot Kapolri

Salah satu titik terdepan itu berada di Provinsi Maluku Utara, tepatnya di Kecamatan Patani Utara, Kabupaten Halmahera Tengah. Tiga gugusan pulau, yakni Liwo, Sayafi, dan Jiew, menjadi wajah paling luar Indonesia di bibir Samudera Pasifik.

Dari ketiganya, Pulau Jiew berhadapan langsung dengan Republik Palau, negara kecil di Pasifik yang jaraknya hanya 255 kilometer laut dari pesisir Patani Utara.

Keberadaan pulau-pulau ini sesungguhnya bukan hanya persoalan geografis, tetapi menyangkut ekonomi, politik, pertahanan, hingga identitas kebangsaan. Sayangnya, hingga kini perhatian negara masih minim.

Padahal, bila dikelola dengan serius, Liwo, Sayafi, dan Jiew bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi maritim dan benteng pertahanan strategis Indonesia di Samudera Pasifik.

Potensi Sumber Daya Alam

Pulau Liwo, yang panjangnya hanya sekitar 3 kilometer, menyimpan potensi ekonomi dari sektor pertanian, perikanan, hingga pariwisata.

Di pulau ini, kelapa menjadi hasil utama yang sejak lama diolah masyarakat menjadi kopra. Sementara itu, Pulau Sayafi yang lebih luas, mencapai 7 kilometer, juga tak kalah hebatnya. Ia dikenal dengan sagu sebagai produk unggulan.

Kedua pulau ini telah menjadi penopang kehidupan masyarakat Patani Utara sejak generasi ke generasi. Sumber daya alam yang melimpah, terutama hasil laut, adalah modal besar untuk menopang kebutuhan pangan, sekaligus membuka jalan bagi pembangunan berbasis ekonomi biru.

Baca Juga:

KPP Badko HMI Malut Alami Luka Saat Aksi di DPRD Halsel

“Dua pulau ini harus dilihat sebagai peluang. Visi misi Presiden Prabowo Subianto tentang asta cita, yang menekankan penguatan sektor pertanian dan perikanan, seharusnya memberi atensi khusus terhadap wilayah ini,” kata Taher Abd Karim, Pemerhati Wilayah Perbatasan Halmahera Tengah.

Namun, hingga kini potensi itu seolah terkubur. Infrastruktur terbatas, akses transportasi sulit, dan perhatian pemerintah yang minim membuat kekayaan alam Liwo dan Sayafi hanya berputar pada konsumsi lokal.

Padahal, bila didukung oleh kebijakan yang serius, kedua pulau itu bisa menjadi lumbung pangan dan pusat produksi perikanan yang menopang ekonomi Maluku Utara bahkan Indonesia Timur.

Ancaman di Garis Depan

Selain potensi, ancaman juga mengintai. Perairan sekitar Liwo, Sayafi, dan Jiew rawan disusupi kapal asing. Praktik illegal fishing marak dilakukan oleh nelayan dari negara tetangga. Mereka bukan hanya mencuri ikan, tetapi juga melakukan pengeboman yang menghancurkan terumbu karang.

Akibatnya, ekosistem laut rusak parah dan nelayan lokal kehilangan sumber penghidupan. Lebih jauh, praktik pencurian ikan ini mencerminkan lemahnya pengawasan di wilayah perbatasan yang seharusnya dijaga ketat oleh negara.

Baca Juga:

KOHATI Ternate: Pemukulan Kader HMI, Luka Demokrasi

Taher menegaskan, keberadaan patroli laut harus diperkuat. “Negara tetangga memanfaatkan celah pengawasan kita yang lemah. Tanpa strategi pertahanan yang jelas, pulau-pulau ini akan terus menjadi sasaran,” ujarnya.

Titik Persilangan Geopolitik

Kedudukan Patani Utara membuatnya tak sekadar perbatasan. Dari gugusan pulau-pulau itu, yakni Liwo, Sayafi, dan Jiew, terbentang tiga pintu perairan internasional.

Ke arah timur, jalur laut ini menghubungkan Indonesia dengan negara-negara Pasifik bagian barat, seperti Vanuatu, Nauru, dan Republik Marshall. Ke selatan, langsung berhadapan dengan Palau. Sementara ke utara, jalurnya menuju Jepang, Tiongkok, Korea, hingga Australia.

Dengan posisi strategis seperti itu, Patani Utara sesungguhnya adalah simpul geopolitik yang menghubungkan Asia Timur dengan Pasifik. Sayangnya, potensi geostrategis ini justru dibiarkan tanpa pemanfaatan yang berarti.

Baca Juga:

Formateur HMI Ternate Desak Kapolres Halsel Dicopot Usai Dugaan Kekerasan terhadap Kader Perempuan

Bandingkan dengan Palau. Negara kecil itu sejak merdeka pada 1994 tak memiliki alat pertahanan sendiri, tetapi keamanan maritimnya dijaga ketat oleh Amerika Serikat.

Patroli laut dilakukan setiap hari untuk memastikan kedaulatan Palau terjaga. Indonesia, dengan luas laut berlipat ganda, justru sering abai terhadap pulau-pulau terdepan seperti Jiew.

Simbol Kedaulatan

Pulau terluar adalah simbol eksistensi negara. Keberadaannya harus dijaga, ditandai, dan dihidupkan dengan aktivitas ekonomi dan sosial. Tanpa itu, pulau-pulau kecil di perbatasan bisa dengan mudah diklaim atau dipersoalkan negara lain.

“Pulau-pulau terluar wajib diberi simbol Indonesia agar eksistensinya jelas dan tidak mudah diklaim,” kata Taher, mengutip pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Baca Juga:

Oknum Polisi Resmi Dilaporkan ke Propam Polres Halsel Atas Dugaan Pemukulan Kader HMI Badko Malut

Sayangnya, hingga kini tidak ada tanda jelas yang menunjukkan eksistensi negara di pulau Liwo, Sayafi, maupun Jiew. Infrastruktur minim, akses terbatas, dan ketiadaan fasilitas pertahanan menjadi potret nyata absennya negara di garis depan.

Menunggu Kehadiran Negara

Patani Utara bukan sekadar wilayah pinggiran. Ia adalah pintu gerbang Indonesia ke Samudera Pasifik. Mengabaikan wilayah ini berarti melepaskan potensi ekonomi, sekaligus mempertaruhkan kedaulatan negara.

Negara harus segera hadir dengan kebijakan yang konkret dengan memperkuat patroli laut, membangun infrastruktur transportasi dan ekonomi, serta memastikan masyarakat lokal mendapat manfaat dari potensi yang ada. Tanpa itu, Liwo, Sayafi, dan Jiew hanya akan menjadi “pulau terabaikan” yang menyimpan potensi, tetapi tak pernah benar-benar dirasakan rakyatnya.

Patani Utara hari ini adalah wajah Indonesia di perbatasan. Bila wajah itu terus dibiarkan kusam, bukan hanya rakyat yang kehilangan harapan, tetapi negara pun kehilangan kehormatan di mata dunia. (Abi/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *