Oleh: Senawati | Ketua Bidang Perempuan KAMMI Komisariat Unkhair
Kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi ekosistem intelektual yang memungkinkan setiap orang, khususnya perempuan, untuk tumbuh, belajar, berekspresi, dan dihargai martabatnya sebagai manusia seutuhnya. Dunia kampus digadang-gadang sebagai ruang tercerahkan, tempat nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijunjung tinggi.
Namun, fakta yang kita saksikan justru memperlihatkan betapa rapuhnya ruang aman itu. Ia dapat retak kapan saja oleh tindakan, perilaku, dan praktik kekuasaan yang merendahkan serta menyakiti perempuan. Kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus terlebih lagi di ruang yang seharusnya memberikan pelayanan administrasi menjadi tamparan keras bahwa kekerasan seksual tidak mengenal batas ruang ataupun status sosial.
Ruang kampus, yang seharusnya menjadi tempat paling aman dan beradab, masih menyediakan celah bagi terjadinya tindakan tidak bermoral, baik secara verbal, fisik, maupun melalui relasi kuasa. Ketika perempuan dilecehkan dalam proses administratif yang semestinya sederhana dan profesional, tindakan itu bukan sekadar pelanggaran etika kerja, melainkan pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan yang paling mendasar.
Baca juga:
Antara Diamnya Lembaga dan Luka Terhadap Korban
Lebih menyakitkan lagi ketika keberanian korban untuk melapor tidak dibalas dengan respons yang memadai. Korban datang membawa luka, membawa trauma, membawa harapan bahwa institusi akan berpihak pada mereka.
Namun yang mereka terima justru sering kali adalah keraguan, pengabaian, bahkan pembelaan terhadap terlapor. Situasi semacam ini tidak hanya menghancurkan keberanian korban untuk bersuara, tetapi juga menciptakan budaya impunitas.
Sebuah budaya yang membuat pelaku merasa aman dan terlindungi, sementara korban merasa tidak punya ruang untuk mencari keadilan. Budaya seperti ini berbahaya, karena ia memperpanjang lingkar kekerasan dan memaksa perempuan hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Sebagai Ketua Bidang Perempuan, saya merasa berkewajiban untuk menyampaikan sikap tegas. Keberpihakan pada korban bukan sekadar posisi moral, melainkan komitmen untuk menjaga integritas ruang akademik dari praktik-praktik yang merusak martabat manusia.
Baca juga:
Negara Harus Berpihak Kepada Kepentingan Rakyat
Dengan itu, saya menyatakan:
1. Saya menolak seluruh bentuk kekerasan seksual, baik fisik, verbal, non-verbal, pelecehan melalui gestur, maupun perilaku apa pun yang merendahkan martabat perempuan. Tidak ada dalih, tidak ada alasan, tidak ada ruang kompromi bagi kekerasan seksual dalam bentuk apa pun.
2. Saya mengecam segala bentuk intimidasi terhadap korban, termasuk ancaman, tekanan psikologis, penyudutan, atau upaya apa pun yang menghambat korban memperoleh keadilan. Intimidasi terhadap pendamping korban juga adalah bentuk kekerasan yang harus dihentikan.
3. Saya menuntut agar setiap laporan kekerasan seksual ditangani dengan cepat, transparan, dan berpihak pada korban. Proses klarifikasi tidak boleh berubah menjadi proses yang menyudutkan korban. Prinsip kehati-hatian (due diligence) dan kerahasiaan harus dijalankan, sesuai mandat hukum dan pedoman pencegahan serta penanganan kekerasan seksual.
Baca juga:
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemerosotan Citra Onco Sherly
4. Saya mengajak seluruh civitas akademika—mahasiswa, dosen, staf, hingga jajaran pimpinan—untuk bersama-sama membangun budaya kampus yang aman, inklusif, adil gender, dan menghargai martabat perempuan. Keselamatan perempuan adalah tanggung jawab kolektif kita sebagai komunitas akademik.
Kasus yang beredar saat ini bukan hanya cerita tentang pengalaman traumatis seorang individu. Ia adalah refleksi dari sebuah sistem yang masih memiliki banyak celah.
Ia adalah cermin yang memaksa kita untuk melihat bahwa ada sesuatu yang harus diperbaiki secara serius. Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap luka-luka yang dialami perempuan di dunia pendidikan. Kita tidak bisa terus berlindung di balik jargon akademik sementara ada perempuan yang tidak lagi merasa aman untuk sekadar datang ke kampus.
Tidak ada pencapaian akademik dengan gelar setinggi apa pun, prestasi sebesar apa pun tidak sebanding dengan hilangnya rasa aman seorang perempuan. Tidak ada ruang belajar yang dapat disebut beradab jika perempuan di dalamnya merasa takut, dipermalukan, atau diabaikan. Ketika perempuan kehilangan rasa aman, seluruh struktur pendidikan kehilangan legitimasi moralnya.
Baca juga:
Kebodohan Ontologis Laki-Laki: Ketika Perempuan Dijadikan Objek Ekonomi dan Seksualitas
Oleh karena itu, dunia kampus harus memiliki komitmen yang jelas dan tegas dalam menolak kekerasan seksual. Kampus harus menjadi tempat yang memprioritaskan keselamatan perempuan, bukan tempat yang membiarkan ketimpangan relasi kuasa berjalan tanpa pengawasan.
Pimpinan institusi harus memahami bahwa tugas mereka bukan hanya menjaga nama baik kampus, melainkan memastikan bahwa setiap individu merasa aman berada di dalamnya.
Menutupi kasus kekerasan seksual bukanlah upaya menjaga citra; itu adalah tindakan yang mengorbankan perempuan dan membiarkan pelaku bebas berkeliaran.
Di saat yang sama, kita juga harus membangun budaya keberanian. Budaya yang mendorong korban untuk bersuara tanpa rasa takut. Budaya yang mengajak mahasiswa untuk saling menjaga dan mengedukasi satu sama lain tentang batas, consent, dan relasi kuasa. Budaya yang membuat setiap perempuan merasa bahwa tubuh dan martabat mereka dihormati.
Penulis percaya bahwa ruang aman bukanlah kemewahan, ruang aman adalah hak. Perempuan berhak untuk belajar tanpa rasa takut. Perempuan berhak untuk bekerja tanpa rasa cemas.
Baca juga:
Hutan Patani, Nafas Terakhir yang Harus Dijaga
Perempuan berhak untuk dihormati tanpa syarat. Setiap institusi pendidikan harus memastikan bahwa hak itu dipenuhi, bukan sekadar dituliskan dalam dokumen formal, tetapi diwujudkan dalam tata kelola kampus.
Sebagai perempuan, sebagai mahasiswa, dan sebagai bagian dari gerakan perubahan, saya akan terus menyuarakan hak itu. Bahwa kita harus berdiri bersama korban.
Penulis ingin mengingatkan bahwa keadilan tidak boleh ditunda. Dan akan mengawal agar kampus benar-benar menjadi tempat yang aman bagi siapa pun, tempat yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
“Perempuan berhak aman, perempuan berhak dihormati, dan suara perempuan tidak akan pernah padam.” (*)
