Oleh: Yhasir Ashari | Ketua Komisariat LMID Muhammadiyah
Hak-hak dasar warga negara yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat sipil kini kian terabaikan. Negara tampak mengabaikan tuntutan rakyat terhadap akses pendidikan yang layak, maraknya perampasan ruang hidup di Maluku Utara, ketidaksetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta terbatasnya kebebasan berekspresi dan berpendapat. Belum lagi sulitnya memperoleh pekerjaan yang layak dan upah yang manusiawi, semua ini menjadi realitas pahit yang kita rasakan hari ini.
Momentum Hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada 10 Desember 2025 seharusnya menjadi pengingat bahwa hak-hak dasar rakyat harus diperjuangkan, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga kesejahteraan. Namun kenyataannya, hingga kini masyarakat masih berjuang keras untuk memperoleh hak-hak tersebut, terutama hak atas pendidikan.
Kita menyaksikan banyak anak bangsa yang harus meninggalkan cita-cita mereka karena biaya pendidikan yang semakin mahal. Padahal Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Baca juga:
Pertumbuhan Ekonomi dan Kemerosotan Citra Onco Sherly
Ayat (2) juga menegaskan bahwa pemerintah wajib menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi realitas masih jauh dari harapan: biaya pendidikan di sekolah maupun universitas masih tinggi, membuat akses terhadap pendidikan berkualitas semakin terbatas.
Isu lain yang tak kalah serius adalah perampasan ruang hidup di Maluku Utara. Banyak masyarakat adat dan warga sipil terpaksa dipindahkan dari tanah leluhur demi kepentingan proyek-proyek besar seperti pertambangan, perkebunan, dan infrastruktur.
Selain merusak lingkungan, hal ini mengancam keberlangsungan hidup dan kebudayaan masyarakat adat. Mereka sering tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dan tidak memperoleh kompensasi yang layak atas kehilangan tanah serta sumber daya mereka. Pemerintah bersama perusahaan seharusnya lebih peka terhadap hak-hak masyarakat adat dan memastikan proses pengambilan keputusan berjalan transparan dan partisipatif.
Baca juga:
Kebodohan Ontologis Laki-Laki: Ketika Perempuan Dijadikan Objek Ekonomi dan Seksualitas
Kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah hak fundamental setiap warga negara. Negara harus menjamin bahwa seluruh rakyat memperoleh kesempatan yang sama dalam mengakses sumber daya, layanan publik, dan peluang ekonomi tanpa diskriminasi.
Dalam konteks Maluku Utara, kesetaraan berarti memastikan masyarakat adat dan warga sipil memiliki hak yang sama dalam mengelola sumber daya alam, mempertahankan budaya, serta memperoleh manfaat dari pembangunan. Kebijakan dan program negara tidak boleh hanya menguntungkan segelintir elit, tetapi harus berpihak pada rakyat banyak.
Negara juga berkewajiban melindungi kebebasan berekspresi dan berpendapat. Namun faktanya, banyak kasus menunjukkan bahwa kebebasan ini justru dibatasi, terutama melalui Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Baca juga:
Hutan Patani, Nafas Terakhir yang Harus Dijaga
UU ITE kerap digunakan untuk menjerat individu yang mengkritik pemerintah atau pejabat publik dengan tuduhan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian. Situasi ini menciptakan rasa takut di tengah masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
Meski Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan beberapa putusan yang membatasi penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik, negara masih terkesan acuh tak acuh terhadap pembatasan ruang berekspresi rakyat.
Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia pun memprihatinkan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2025 mencapai 4,85 persen, sementara rata-rata upah buruh hanya sekitar 3,33 juta rupiah per bulan. Angka ini tidak sepenuhnya menggambarkan kenyataan di lapangan, sebab sekitar 53 persen pekerja masih menerima gaji di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP).
Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan pekerja masih jauh dari layak. Pemerintah memang telah menetapkan formula baru penentuan UMP/UMK 2026 yang mempertimbangkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan pertumbuhan ekonomi.
Baca juga:
Menakar Akuntabilitas: Pengawasan Inspektorat dan Masa Depan Pembangunan Yondeliu
Namun kekhawatiran tetap ada bahwa kenaikan upah belum mampu memenuhi kebutuhan dasar buruh. Meski beberapa sektor seperti pertanian, kehutanan, perikanan, serta perdagangan mengalami peningkatan penyerapan tenaga kerja, banyak pekerja masih terjebak dalam sektor informal atau pekerjaan paruh waktu dengan penghasilan rendah. (*)
