Mahasiswa di Ternate Gelar Diskusi 1 Desember, Soroti Isu Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa West Papua

Ternate, intronusantara — Sejumlah mahasiswa di Kota Ternate menggelar diskusi terbuka dalam rangka memperingati 1 Desember, tanggal yang oleh sebagian kalangan diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Papua.

Kegiatan yang menyoroti isu hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua itu diinisiasi oleh Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI–WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Diskusi berlangsung di NBCL Kelurahan Sasa, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara, pada Senin (1/12) sekitar pukul 18.53 WIT. Moderator membuka acara dengan pengantar mengenai tema diskusi serta menekankan konteks historis peringatan 1 Desember. Setelah itu, pemateri pertama memaparkan sejarah perjuangan politik Papua.

Baca juga:
Mahasiswa KKSD Kenalkan PHBS di TK Fagawenek, Anak-anak Belajar Sambil Menggambar

Mex, pemateri yang merupakan Orang Asli Papua sekaligus anggota AMP, menjelaskan bahwa sejarah perjuangan politik bangsa Papua berbeda dengan sejarah politik Indonesia.

Perbedaan itu, menurut dia, terlihat jelas pada dinamika Papua pada awal 1960-an.

Ia menguraikan bahwa pada masa tersebut, para politisi dan negarawan Papua yang menempuh pendidikan di sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) Jayapura sekitar 400 alumni angkatan 1944–1945 yang mulai mempersiapkan dasar-dasar kemerdekaan bagi rakyat West Papua.

Baca juga:
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Sukses Gelar Kuliah Tamu Bertajuk ā€ Industri Media di Era Digital, Antara Peluang dan Tantanganā€Ā 

Di antara tokoh itu adalah M.W. Kaisepo, Mofu, Nicolaus Youwe, P. Torey, A.K. Gebse, M.B. Ramandey, A.S. Onim, N. Tanggahma, F. Poana, Abdullah Arfan, serta sejumlah tokoh keturunan Belanda.

Dorongan para elite terdidik tersebut membuat Pemerintah Belanda membentuk Dewan Nieuw Guinea yang beranggotakan perwakilan dari berbagai wilayah di Papua.

Namun, meningkatnya ketegangan antara Belanda dan Indonesia mengenai masa depan Papua kemudian mendorong munculnya Komite Nasional Papua (KNP) yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea menyiapkan deklarasi kemerdekaan Papua.

Komite ini berkembang menjadi 70 anggota dan menghasilkan manifesto politik yang memuat nama negara ā€œPapua Baratā€.

Baca juga:
Hari Kesehatan Nasional: Dari Hati yang Peduli Lahir Generasi yang TangguhĀ 

 

Klaim Tidore dan Hubungan Historis dengan Papua

Mex juga menyinggung klaim historis Kesultanan Tidore atas Papua yang menurutnya lemah karena tidak didukung kesamaan asal-usul maupun hubungan kultural yang kuat.

Ia menyebut bahwa hubungan Tidore dan Papua pada masa lampau bersifat longgar, bahkan sejumlah wilayah Papua tidak mengenal Tidore sama sekali.

Menurut Mex, interaksi yang tercatat terutama terkait praktik pengambilan budak serta perdagangan mahkota burung cenderawasih.

Baca juga:
Menenun Nada Ilahi di Desa Were: Mahasiswa KKSD UMMU Belajar Tilawah Bersama Generasi Qur’ani

Selain itu, kata Mex, pelaut suku-suku Biak di utara Papua kerap berlayar hingga Maluku dan Jawa dengan kapal kora-kora, meski interaksi ini juga bersifat terbatas.

Ia menambahkan bahwa perang antara Tidore dan Kerajaan Jailolo pada abad ke-15 mendorong Tidore meminta bantuan pelaut Papua yang dikenal sebagai Gura Besi.

“Dari hubungan tersebut muncul empat keturunan yang kemudian memimpin wilayah di Kepulauan Raja Ampat,”ujarnya

Interaksi itu, lanjut Mex, hanya terjadi di pesisir barat dan utara Papua, sementara wilayah Papua lainnya tidak tersentuh kekuasaan Tidore.

Baca juga:
Seni Membaca: 5 Tips dari Hening Pikiran dan Pandangan Para Ahli

Pada abad ke-17, Belanda mengakui Papua sebagai bagian dari Tidore, namun Mex menilai pengakuan itu lebih bersifat politis. Tahun 1855, misionaris Kristen pertama masuk ke Papua atas prakarsa Belanda, bukan Tidore.

“Saat itu Tidore sudah tidak memiliki kekuatan dan hanya menjadi perantara bagi kepentingan Belanda,ā€ ujarnya.

Mex mengutip data Greg Poulgrain yang menunjukkan bahwa pada masa kolonial Belanda, wilayah Papua yang benar-benar berada dalam jangkauan administrasi kolonial hanya sekitar 20 persen dari total luas pulau.

Selain Mex, ada tiga pemantik lain yang menyampaikan solidaritas terhadap isu kemerdekaan Papua, yaitu Acil yang menyoroti aspek hukum, Nando yang berbicara tentang jalan keluar bagi orang Papua, dan AS yang menyoroti kebijakan NKRI di Papua.

Baca juga:
BADKO HMI Maluku Utara Gelar Advance Training (LK III) Tingkat Nasional 2025: Membangun Intelektual Kritis di Tengah Krisis Politik Global

 

Jejak Operasi Militer di Papua

Dalam pemaparannya, Nando menyampaikan pandangannya mengenai diskriminasi rasial terhadap orang Papua.

Ia mengutip pernyataan Ali Moertopo tahun 1966 yang menurutnya menggambarkan sikap negara saat itu.

Ia menilai bahwa sejumlah operasi militer sejak 1960-an berdampak besar terhadap masyarakat sipil.

Nando menyebut angka korban yang, menurutnya, mencapai ratusan ribu jiwa sejak Trikora, serta beberapa peristiwa kekerasan seperti yang ia klaim terjadi di Agimuga (1977), Enarotali, Obano, Moanemani, hingga Wamena pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an.

Baca juga:
SMP Muhammadiyah Galela Kian Memprihatinkan

Ia juga menyinggung sejumlah kasus yang menimpa tokoh Papua, seperti Arnold C. Ap (1984), Theys Hiyo Eluay, Kelly Kwalik, dan Mako Tabuni.

Menurutnya, pola kekerasan negara berlangsung sistematis selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua dari 1978 hingga 1998.

Nando menilai situasi tersebut menyebabkan migrasi besar-besaran yang berdampak pada menurunnya persentase Orang Asli Papua (OAP), yang kini disebutnya berada di angka sekitar 48,7 persen dari total penduduk Papua Barat.

Baca juga:
Atap Bocor, Aktivitas Belajar di Sekolah Terganggu

 

Pelanggaran HAM dan Warisan Orde Baru

Acil menilai pelanggaran HAM di Indonesia bukan tindakan sporadis oleh oknum, tetapi dilakukan oleh negara sebagai institusi sejak era Orde Baru guna membuka jalan bagi modal asing.

Ia mencontohkan tambang Ertsberg sebagai bentuk ā€œupetiā€ pertama setelah jatuhnya Sukarno, melalui pengesahan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan penandatanganan Kontrak Karya pada 7 April 1967. Pepera 1969.

Menurutnya, tidak sesuai prinsip ā€œsatu orang satu suaraā€ dan berlangsung di bawah intimidasi aparat.

Baca juga:
Yayasan Rumah Konseling Malut Gelar Sosialisasi Kesehatan Mental di SMK Negeri 3 Ternate

Ia menyebut bahwa Reformasi 1998 gagal mengadili pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Papua, karena struktur militeristik Orde Baru masih bertahan melalui komando teritorial TNI.

Banyak kasus mulai dari Tragedi 1965 hingga Semanggi I-II tidak diproses karena dapat menyeret aktor politik dan militer yang masih berpengaruh.

Menurut Acil, pengadilan HAM yang tuntas hanya dapat lahir dari perubahan kekuasaan menyeluruh melalui transformasi sosial yang menjamin demokrasi, termasuk hak menentukan nasib sendiri bagi suatu bangsa.

Baca juga:
Mahasiswa KKN Desa Modayama Bersama Warga Siapkan Lomba Maulid Nabi

 

Kebijakan NKRI dan Dampaknya di Papua

Kawan AS menilai berbagai kebijakan pemerintah Indonesia di Papua berdampak buruk bagi keselamatan warga Papua.

Ia menyoroti kerusakan hutan, meningkatnya operasi militer, serta berbagai tindakan represif terhadap masyarakat sipil.

Ia mengkritik pemerintahan Prabowo–Gibran yang dinilai bersifat militeristik.

Menurutnya, pengesahan UU TNI, peresmian enam Komando Daerah Militer (Kodam), 20 Brigade Infanteri Teritorial Pembangunan, serta 100 Batalyon Teritorial pada Agustus 2025 justru meningkatkan risiko bagi warga Papua.

Baca juga:
FS Trans–Kieraha Dinilai Penuh Kejanggalan, Mahasiswa Teknik Sipil Bongkar Kelemahan Studi Kelayakan

Setelah sesi diskusi, AMP dan FRI–WP kemudian membacakan sikap politik organisasi, ditutup dengan yel-yel ā€œPapua Merdekaā€.

 

(Abi/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *