Otoritas dan Kontestasi Tafsir: Warisan Intelektual Nurcholish Madjid

Di tengah riuh rendahnya politik keagamaan di Indonesia, di mana ayat-ayat suci sering diseret ke panggung kekuasaan, di mana tafsir agama berubah menjadi alat pembenaran, dan di mana moralitas dijadikan komoditas elektoral—nama Nurcholish Madjid hadir seperti sebatang lilin di tengah gelap.

Ia bukan hanya pemikir, tetapi juga pembuka jalan bagi lahirnya generasi baru yang berani, berpikir bebas tanpa harus meninggalkan iman.

Cak Nur, begitu sapaan akrabnya, lahir di Cirebon, 1939. Dari keluarga santri, ia menapaki jalan panjang yang membawanya menjadi seorang intelektual Muslim paling berpengaruh di Indonesia modern.

Tapi lebih dari itu, ia adalah penafsir zaman dengan menyebut bahwa seseorang yang berani menyentuh ruang-ruang tabu dalam tradisi Islam dengan kesadaran bahwa agama harus hidup di tengah dinamika manusia, bukan menjadi benda mati di rak sejarah.

Ketika Cak Nur mengucapkan kalimat “Islam, Yes. Partai Islam, No.” pada 1970-an, Indonesia terguncang. Dalam konteks politik Orde Baru yang penuh kontrol dan ketegangan ideologis, kalimat itu terdengar seperti petir yang memecah langit wacana Islam politik.

Baca juga:

Membaca Ekopopulisme di Tanah Nikel

Di tengah riuh rendahnya politik keagamaan di Indonesia, di mana ayat-ayat suci sering diseret ke panggung kekuasaan, di mana tafsir agama berubah menjadi alat pembenaran, dan di mana moralitas dijadikan komoditas elektoral—nama Nurcholish Madjid hadir seperti sebatang lilin di tengah gelap.

Ia bukan hanya pemikir, tetapi juga pembuka jalan bagi lahirnya generasi baru yang berani, berpikir bebas tanpa harus meninggalkan iman.

Cak Nur, begitu sapaan akrabnya, lahir di Cirebon, 1939. Dari keluarga santri, ia menapaki jalan panjang yang membawanya menjadi seorang intelektual Muslim paling berpengaruh di Indonesia modern.

Tapi lebih dari itu, ia adalah penafsir zaman dengan menyebut bahwa seseorang yang berani menyentuh ruang-ruang tabu dalam tradisi Islam dengan kesadaran bahwa agama harus hidup di tengah dinamika manusia, bukan menjadi benda mati di rak sejarah.

Ketika Cak Nur mengucapkan kalimat “Islam, Yes. Partai Islam, No.” pada 1970-an, Indonesia terguncang. Dalam konteks politik Orde Baru yang penuh kontrol dan ketegangan ideologis, kalimat itu terdengar seperti petir yang memecah langit wacana Islam politik.

Baca juga:

Pendidikan Sebagai Jalan Menuju Manusia

Karena itu, ia menolak bentuk otoritarianisme agama yang mengklaim kebenaran tunggal. Menurut Cak Nur, wahyu memang absolut, tetapi tafsir terhadap wahyu bersifat relatif dan kontekstual.

Ia mengingatkan bahwa sejarah Islam sendiri adalah sejarah tafsir dari perdebatan antara Sunni dan Syiah, Mu‘tazilah dan Asy‘ariyah, hingga tradisi fiqh dan tasawuf yang kaya. Semua itu menunjukkan bahwa pluralitas adalah bagian dari rahmat Islam.

Dalam salah satu esainya, Cak Nur menulis kita tidak sedang mencari Islam baru, tetapi memahami kembali makna Islam yang sejati. Kalimat itu menjadi semacam kredo intelektualnya. Ia menempatkan akal sebagai mitra wahyu, bukan musuh.

Menurutnya, akal adalah anugerah Tuhan yang membuat manusia mampu memahami dan mengolah pesan Ilahi sesuai konteks zamannya.

Cak Nur memandang ijtihad sebagai napas kehidupan Islam. Tanpa ijtihad, agama akan membatu, kehilangan daya ubah, dan terjebak dalam formalisme yang kosong. Karena itu, ia menentang sikap taqlid buta yakni menerima pendapat ulama masa lalu tanpa berpikir ulang.

Baca Juga:

Membangun Gerakan dengan Membaca SWOT: Strategi Kesadaran Massa dalam Konteks Maluku Utara

“Kita harus menghormati ulama klasik, tetapi tidak wajib mengulang semua kesimpulan mereka,” katanya. “Mereka hidup di zamannya, kita hidup di zaman kita sendiri.”

Namun, pandangan seperti ini tentu tidak lahir di ruang hampa. Ia muncul dari realitas sosial yang sarat dengan pertarungan tafsir dan perebutan otoritas.

Di Indonesia, tafsir Islam tidak hanya menjadi diskursus intelektual, tetapi juga menjadi alat kekuasaan sosial dan politik.

Sejak era kolonial, hingga masa Orde Baru, agama selalu menjadi medan pertarungan: antara modernis dan tradisionalis, nasionalis dan Islamis, negara dan umat.

Di tengah itu semua, Cak Nur menawarkan jalan kebudayaan Islam yang inklusif dan rasional. Ia ingin Islam berperan aktif dalam membangun bangsa, tanpa harus menjadi instrumen politik praktis.

Ia sadar bahwa setiap tafsir agama memiliki konsekuensi sosial. Karena itu, tafsir tidak boleh dimonopoli oleh elite ulama, partai, atau lembaga keagamaan.

Baca juga:

Darurat Infrastruktur Pendidikan dan Cermin Kegagalan Pengawasan di SMP Muhammadiyah Galela

Tafsir harus menjadi ruang dialog publik. Tak hanya itu, umat Islam tidak lagi menjadi massa pasif yang hanya mengikuti otoritas, melainkan warga yang aktif menggunakan akal sehatnya.

Cak Nur mengutip semangat iqra’ perintah pertama dalam Al-Qur’an—sebagai simbol emansipasi intelektual.

Membaca, katanya, adalah tindakan pertama dari kebebasan. Dengan membaca, manusia belajar berpikir, memahami, dan menafsirkan. Di sanalah lahir kebudayaan Islam yang dinamis dan progresif.

Dalam pemikiran politiknya, Cak Nur memandang demokrasi bukan sebagai produk Barat yang asing bagi Islam, melainkan sebagai manifestasi dari prinsip musyawarah dan keadilan.

Ia menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem yang paling sejalan dengan semangat Islam, karena menghormati kebebasan individu sekaligus menuntut tanggung jawab sosial.

“Negara yang demokratis adalah negara yang Islami dalam makna etis,” tulisnya. Sebab di dalamnya, kekuasaan diawasi oleh rakyat, hukum berlaku bagi semua, dan kebijakan diambil melalui musyawarah.

Baca juga:

Wajah Ganda Pendidikan di Maluku Utara

Dengan demikian, demokrasi bukan ancaman bagi Islam, melainkan wadah bagi aktualisasi nilai-nilai Islam. Cak Nur bahkan memperingatkan bahaya dari politik Islam yang eksklusif. Ia menilai bahwa ketika agama dijadikan ideologi politik, maka akan muncul tendensi kekerasan dan absolutisme.

Sejarah telah menunjukkan bagaimana ideologi keagamaan sering kali berubah menjadi alat represi atas nama Tuhan. Karena itu, ia mendorong umat Islam untuk berpolitik dengan nilai, bukan dengan simbol.

Dalam pandangannya, politik Islam sejati bukan soal membangun partai Islam, melainkan membangun politik yang bermoral Islam. Artinya, kejujuran, amanah, dan keadilan menjadi prinsip dasar, bukan sekadar slogan.

Yang membedakan Cak Nur dari banyak pemikir Islam lain adalah kemampuannya menyatukan rasionalitas dan spiritualitas.

Ia tidak melihat akal dan iman sebagai dua hal yang bertentangan, melainkan sebagai dua sayap yang mengangkat manusia menuju kebenaran.

Baca juga:

Akademik Bukan Arena Kekerasan, Melainkan Ruang Pertarungan Ide

Dalam ceramah-ceramahnya, ia sering mengutip ayat “La ikraha fid-din” tidak ada paksaan dalam beragama sebagai dasar bagi pluralisme. Ia menuturkan, iman yang sejati hanya lahir dari kebebasan. “Kebebasan adalah prasyarat keimanan,” katanya, “sebab iman yang dipaksakan bukanlah iman, melainkan ketakutan.”

Cak Nur mengajarkan Islam yang ramah terhadap perbedaan. Ia percaya bahwa kemanusiaan adalah dasar dari semua agama. Dalam tulisannya tentang kemajuan Islam, ia menulis bahwa “umat Islam akan maju jika berani berpikir, berani berbeda, dan berani terbuka.”

Karena itu, baginya, kemajuan bukan datang dari kekuasaan, tetapi dari kebudayaan ilmu dan etika berpikir. Warisan pemikiran ini kemudian menginspirasi banyak generasi muda, terutama di lingkungan kampus dan organisasi seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang pernah ia pimpin.

Ia membawa napas baru bagi intelektualitas Islam Indonesia yang rasional, moderat, dan progresif. Kini, di abad ke-21, ketika simbol-simbol agama kembali memenuhi ruang publik, ketika partai dan tokoh kembali mengklaim diri sebagai “pembela Islam,” warisan Cak Nur terasa seperti cermin bening yang menantang kita untuk berpikir ulang.

Di era ketika politik agama sering kali melahirkan kebencian, Cak Nur justru mengajarkan cinta dan akal sehat. Ia tidak memandang sekularisme sebagai ancaman, tetapi sebagai ruang bagi agama untuk tumbuh secara tulus, tanpa campur tangan negara.

Ia juga tidak melihat pluralisme sebagai relativisme, melainkan sebagai wujud nyata dari kasih sayang Tuhan yang menciptakan manusia berbeda-beda agar saling mengenal. Cak Nur mengingatkan bahwa musuh utama Islam bukanlah modernitas, melainkan kejumudan berpikir.

Baca juga:

Kehidupan Kolektivisme Masyarakat Adat: Dari Komunal Primitif hingga Zaman Modern

Bukan sains yang mengancam iman, melainkan kebodohan yang mengatasnamakan iman untuk menolak sains. Olehnya itu, ia menekankan pentingnya pendidikan, kebebasan akademik, dan keterbukaan terhadap pengetahuan global.

Dalam pandangannya, umat Islam harus menjadi pelaku sejarah, bukan korban sejarah. Untuk itu, mereka perlu membangun peradaban ilmu, etika publik, dan kebudayaan demokrasi. Tanpa itu, Islam hanya akan menjadi retorika kosong di bibir politisi dan orator.

Memahami Nurcholish Madjid berarti belajar melihat Islam dengan mata hati yang jernih. Ia mengajak kita untuk keluar dari perangkap politik simbolik, dan kembali pada Islam sebagai jalan hidup yang membebaskan manusia. Ia tidak sekadar bicara tentang politik Islam, tetapi tentang politik kemanusiaan yang berlandaskan nilai Islam.

Ia tidak menawarkan ideologi baru, tetapi menghidupkan kembali semangat Islam awal yang rasional, adil, dan penuh kasih. Dalam zaman yang terus berubah ini, ketika otoritas agama sering disalahgunakan, ketika tafsir dijadikan alat propaganda, suara Cak Nur kembali bergema: “Islam tidak memerlukan pembela yang marah, tetapi pemikir yang jujur dan berani.”

Dan mungkin, di tengah hiruk-pikuk zaman yang penuh simbol dan kekerasan, itulah makna sejati dari politik Islam yang dicita-citakan Nurcholish Madjid: politik yang berakar pada nilai, berdiri di atas akal, dan berorientasi pada kemanusiaan.

 

(Abi/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *