Akademik Bukan Arena Kekerasan, Melainkan Ruang Pertarungan Ide

Intronusantara — Amanat konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Hal ini tercantum jelas dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Dengan semangat tersebut, lahirlah berbagai lembaga pendidikan yang bertujuan menjalankan amanat konstitusi tersebut.

Universitas Khairun merupakan salah satu lembaga pendidikan tinggi terkemuka di Maluku Utara. Reputasinya cukup di kenal di dunia pendidikan nasional, bahkan mampu bersaing dengan berbagai universitas di Indonesia.

Baca Juga:

Obrolan di Ketinggian: SilaturaHMI dan Malam yang Tenang

Selain itu, Universitas Khairun juga telah menorehkan berbagai prestasi, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.

Namun, pada tanggal 23 Oktober 2025, kita semua berduka atas “matinya pikiran akademik” dari salah satu pejabat kampus, yakni Wakil Dekan III Fakultas Hukum, yang seharusnya menjadi sumber inspirasi dan nutrisi pengetahuan bagi mahasiswa Universitas Khairun.

Polemik ini di nilai bahwa Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Khairun belum mampu menjalankan visi dan misi universitas sebagaimana mestinya. Tugas utama seorang pejabat akademik adalah mendukung dan menumbuhkan ide-ide kreatif mahasiswa, bukan justru menghambatnya.

Baca Juga:

Kehidupan Kolektivisme Masyarakat Adat: Dari Komunal Primitif hingga Zaman Modern

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa Universitas Khairun yang aktif di Fakultas Hukum, saya menyarankan agar Wakil Dekan III Fakultas Hukum segera dicopot dari jabatannya, karena tidak mampu melaksanakan tanggung jawab akademik sesuai amanah jabatan.

Saya teringat pernyataan salah satu perancang Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang mengatakan bahwa universitas adalah ladang pengetahuan dan tempat pertarungan ide. Artinya, jika universitas adalah laboratorium pengetahuan, maka Universitas Khairun seharusnya menjadi ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, mengasah nalar, dan bertumbuh melalui diskursus ilmiah, bukan menjadi arena kekerasan fisik yang membunuh intelektualitas.

Bangsa Indonesia sendiri di bangun dari pertarungan ide dan gagasan besar, bukan dari kekerasan. Karena itu, dunia akademik harus menjadi ruang yang menjunjung tinggi nilai-nilai pengetahuan, etika, dan kebebasan berpikir. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *