Kehidupan Kolektivisme Masyarakat Adat: Dari Komunal Primitif hingga Zaman Modern

Oleh: Yhasir Ashari | Ketua Komisariat LMID Muhammadiyah

 

Kehidupan masyarakat adat komunal yang sering disebut “primitif” kerap disalahpahami oleh pandangan modern. Dalam logika kapitalisme, sistem kehidupan yang berlandaskan kebersamaan, gotong royong, dan hubungan organik dengan alam dianggap terbelakang atau tidak maju. Namun justru di sanalah letak paradoks peradaban modern: yang disebut primitif sesungguhnya merupakan bentuk tertinggi dari keseimbangan sosial dan ekologis.

Masyarakat adat hidup dalam kolektivisme alami — sebuah tatanan sosial yang menolak pemisahan antara manusia dan alam. Mereka tidak mengenal konsep “kepemilikan pribadi” sebagaimana dalam kapitalisme, sebab tanah, air, hutan, dan udara bukan milik individu, melainkan bagian dari kehidupan bersama. Setiap hasil alam dibagi secara adil sesuai kebutuhan, bukan untuk akumulasi atau keuntungan pribadi.

Gambaran ini berbanding terbalik dengan sistem kapitalisme yang menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas. Kapitalisme menciptakan definisi baru tentang kemajuan dan kemiskinan berdasarkan nilai tukar uang. Atas nama pembangunan, banyak wilayah adat dirampas, masyarakatnya diubah menjadi tenaga kerja murah, dan kebudayaannya dianggap usang. Semua itu dilakukan dengan alasan-alasan yang dibalut kepentingan ekonomi-politik.

Baca Juga:

Membaca Ekopopulisme di Tanah Nikel

Padahal, gaya hidup yang disebut primitif bukanlah tanda kemiskinan. Sebaliknya, itu adalah pilihan hidup yang kaya makna — dalam solidaritas, rasa syukur, dan kesadaran ekologis. Dalam komunitas komunal, manusia tidak diukur dari seberapa banyak yang dimiliki, melainkan dari seberapa besar kontribusinya bagi kehidupan bersama.

Dengan demikian, istilah primitif yang sering dilekatkan oleh dunia modern justru lebih tepat diarahkan kepada sistem kapitalisme itu sendiri, yang terus menghancurkan kehidupan sosial dan alamiah demi akumulasi tanpa batas.

Seperti yang disampaikan Karl Marx, zaman modern adalah zaman kapitalisme, di mana negara dan kelas borjuis (kapitalis) menguasai alat-alat produksi, sehingga mereka dapat merampas hak-hak serta sumber daya masyarakat, termasuk masyarakat adat. Marx menegaskan bahwa negara adalah alat kekuasaan kelas borjuis, yang digunakan untuk mempertahankan kepentingan mereka dan menekan kelas proletar (buruh) maupun masyarakat adat.

Baca Juga:

Runtuhnya Menara Gading: Ketika KAMMI Pusat Menjadi Musuh Dalam Selimut Kader Komisariat

Kapitalisme, menurut Marx, adalah sistem eksploitasi: kelas borjuis meraup keuntungan dari kerja keras kelas proletar dan masyarakat adat tanpa memberikan kompensasi yang adil. Dalam konteks ini, negara kapitalis berperan sebagai penjaga kepentingan ekonomi-politik yang terus merampas tanah, sumber daya alam, dan kebudayaan masyarakat adat.

Maka, gaya hidup primitif bukanlah simbol kemiskinan, melainkan wujud peradaban yang telah menemukan keseimbangan antara manusia, alam, dan kebersamaan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *