Runtuhnya Menara Gading: Ketika KAMMI Pusat Menjadi Musuh Dalam Selimut Kader Komisariat

Oleh : Muhammad Alsaf lobiua | Ketua umum KAMMI Komisariat IAIN Ternate.

 

Kehancuran sebuah organisasi tidak datang dari tekanan eksternal, melainkan dari pusat kekuasaan di mana para pengurus yang seharusnya menjadi penjaga nilai justru menjadi perusak utamanya.

Dalam konteks Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), narasi kehancuran ini bukan lagi isu selentingan, tapi realitas pahit yang dibuat oleh pusat hingga merembes langsung sebagai gempa ketidakpastian oleh kader-kader di komisariat.

Pusat yang seharusnya menjadi menara gading untuk menjaga arah perjuangan berubah menjadi sumber masalah yang membuat basisnya tercerai-berai dalam kebingungan.

Baca Juga:

Menerka Arah Kaderisasi: Konflik Internal KAMMI Pusat dan Ketakutan Komisariat

Kebingungan kader komisariat adalah dampak yang paling memilukan. Para kader dengan rela hati membaktikan waktu, tenaga, dan pikiran untuk organisasi, kini menjadi distorsi yang mendalam.

Mereka seperti prajurit yang kehilangan komandan di medan perang. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis : “Untuk siapa kami berjuang? Apakah nilai-nilai yang kami kaderkan selama ini hanya omong kosong? Mengapa yang di pusat bisa melakukan hal yang bertentangan dengan ajaran mereka sendiri?” Kebingungan ini bukanlah bentuk kelemahan, melainkan konsekuensi logis dari pengkhianatan terhadap trust (kepercayaan) yang menjadi fondasi setiap organisasi pergerakan.

Kondisi seperti ini, pusat seringkali tidak menghasilkan solusi, tetapi justru membela diri dan sikap defensif. Alih-alih melakukan perbaikan dengan transparansi dan pertanggungjawaban, namun yang terjadi adalah upaya penutupan masalah dan menyalahkan pihak lain.

Baca Juga:

Menghina Butuh Literasi

Sikap ini semakin memperlebar jurang antara pusat dan komisariat, mengukuhkan narasi bahwa “mereka (pusat) sudah tidak lagi peduli dengan kami (komisariat).” Kehancuran pun bukan lagi menjadi ancaman, melainkan sebuah keniscayaan yang dipercepat oleh sikap arogan elite pusat.

Lalu, bagaimana masa depan KAMMI? Kehancuran yang dibuat, seoalh meninggalkan dua pilihan bagi komisariat.

Pertama, pasrah dan membiarkan organisasi ini tenggelam perlahan, yang berarti mengubur semua warisan perjuangan sebelumnya.

Kedua, bangkit dengan kesadaran baru untuk melakukan koreksi total, mungkin bahkan dengan cara mendorong regenerasi paksa di tingkat pusat atau membangun kembali gerakan dari akar rumput yang lebih otonom. Pilihan kedua adalah jalan yang lebih sulit tetapi lebih terhormat.

Baca Juga:

Ketiadaan PTUN di Maluku Utara dan Akses Masyarakat Terhadap Keadilan di Tengah Proyek Strategis Nasional

Kehancuran KAMMI bukanlah takdir, tetapi pilihan yang dibuat oleh pengurus pusat melalui tindakan sendiri dan kebijakan yang merusak. Kebingungan kader komisariat adalah alarm yang tidak boleh diabaikan.

Saatnya suara dari bawah didengarkan. Jika pusat sudah tidak mampu menjadi solusi, maka masa depan KAMMI berada di tangan kader-kader di komisariat yang masih memegang teguh idealismenya untuk melakukan pembaruan dari dalam, atau memutuskan untuk membangun jalan baru yang lebih sesuai dengan nilai-nilai luhur yang mereka percayai. (*)

 

 

**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *