Oleh: Aldi Haris | Mahasiswa Hukum Tata Negara Unkhair Ternate
Selama bertahun-tahun, masyarakat Maluku Utara hidup dalam keterbatasan akses terhadap keadilan tata usaha negara. Ketiadaan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di wilayah ini memaksa masyarakat yang merasa dirugikan oleh keputusan administrasi pemerintahan menempuh perjalanan panjang ke Ambon, Maluku.
Kondisi ini tidak hanya memberatkan secara geografis karena harus menyeberangi laut dengan biaya besar, tetapi juga menciptakan jurang keadilan bagi rakyat kecil.
Langkah mencari keadilan menjadi beban ganda: selain berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan, mereka juga harus menghadapi kendala jarak dan biaya yang tidak sedikit.
Baca Juga:
Masyarakat Adat Pulau Umiyal Menolak Keras Pengambilalihan Tiga Pula Oleh Pemda Papua Barat Daya
Akibatnya, banyak kasus yang sebenarnya layak diuji di PTUN terpendam tanpa penyelesaian, meninggalkan rasa ketidakadilan yang mendalam.
Padahal, hukum secara tegas menegaskan bahwa keberadaan PTUN merupakan mandat konstitusional dan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU Nomor 51 Tahun 2009, menyatakan PTUN adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang berfungsi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara antara rakyat dengan pejabat atau badan pemerintahan.
Dengan demikian, kehadiran PTUN di setiap daerah bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan mendasar untuk menjamin hak warga negara dalam memperoleh keadilan.
Prinsip access to justice yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum Indonesia menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat akses peradilan yang mudah, cepat, dan terjangkau.
Baca Juga:
Kebodohan Lebih Kuat Dari Kebenaran
Lebih jauh, Pasal 4 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pengadilan harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan demi terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Faktanya masyarakat Maluku Utara masih harus pergi ke Ambon justru bertolak belakang dengan semangat undang-undang tersebut. Situasi ini jelas menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum.
Prof. Dr. Indroharto dalam karyanya Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (1993) menyatakan bahwa PTUN merupakan “instrumen untuk menguji setiap tindakan pejabat pemerintah agar tidak bertentangan dengan hukum dan kepentingan rakyat.”
Pandangan ini sangat relevan dengan Maluku Utara, di mana kebijakan tata usaha negara terkait izin tambang, pengelolaan tanah, maupun relokasi masyarakat kerap memicu polemik.
Baca Juga:
Pendidikan Sebagai Jalan Menuju Manusia
Senada dengan itu, Prof. Dr. H. Philipus M. Hadjon, S.H., dalam Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia (1987) menekankan bahwa perlindungan hukum hanya akan efektif jika tersedia mekanisme pengujian keputusan pemerintah secara terbuka melalui lembaga peradilan. Ketiadaan PTUN di Maluku Utara berarti rakyat kehilangan mekanisme penting tersebut.
Jimly Asshiddiqie juga menegaskan dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005) bahwa access to justice adalah hak dasar warga negara. Negara, menurutnya, tidak boleh membiarkan hambatan geografis maupun biaya menjadi penghalang bagi rakyat untuk menggugat kebijakan yang merugikan.
Kebutuhan akan PTUN di Maluku Utara semakin mendesak seiring penetapan wilayah ini sebagai salah satu lokasi Proyek Strategis Nasional (PSN). Kehadiran PSN di sektor pertambangan, energi, perikanan, dan infrastruktur memang membuka peluang besar bagi pembangunan ekonomi, tetapi juga menghadirkan potensi konflik administratif yang tidak kecil: mulai dari sengketa izin usaha pertambangan (IUP), konflik lahan masyarakat adat, hingga relokasi pemukiman akibat proyek industri.
Semua itu sejatinya merupakan ranah PTUN untuk menguji legalitas keputusan pemerintah. Tanpa PTUN di Maluku Utara, rakyat kehilangan instrumen hukum yang mestinya melindungi mereka.
Baca Juga:
Api Rempah, Darah Perjuangan
Selain itu, PTUN juga berperan sebagai penyeimbang kekuasaan. Dalam pembangunan berskala besar, sering kali kebijakan pemerintah lebih condong pada kepentingan modal daripada kepentingan rakyat.
PTUN menjadi benteng kontrol agar setiap keputusan administrasi tetap sesuai hukum, transparan, dan berkeadilan.
Kehadiran PTUN di Maluku Utara akan memberikan jalur hukum yang lebih dekat dan terjangkau, sekaligus memperkuat keyakinan rakyat bahwa hukum hadir untuk semua, bukan hanya bagi yang kuat.
Oleh karena itu, menjawab ketiadaan PTUN di Maluku Utara bukanlah sekadar pemenuhan kebutuhan institusional, melainkan langkah penting untuk mengawal pembangunan nasional yang berkeadilan.
PTUN adalah simbol nyata kehadiran negara dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak rakyat di tengah derasnya arus investasi pertambangan. Tanpa itu, proyek strategis hanya akan memperdalam ketimpangan dan meninggalkan luka sosial.
Kini, saat Maluku Utara digadang sebagai pusat industri baru melalui PSN, negara tidak boleh lagi menunda. PTUN harus segera hadir di bumi Moloku Kie Raha sebagai wujud nyata komitmen menegakkan hukum dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. (*)
**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.
