Api Rempah, Darah Perjuangan

Intronusantara — Di tanah yang dilingkari ombak dan dilindungi oleh karang, Maluku Utara tumbuh sebagai saksi peradaban dunia yang menolak tunduk.

Di sana, pala dan cengkeh bukan sekadar rempah yang harum, melainkan api perjuangan yang membakar dada para leluhur.

Setiap butir yang jatuh dari pohon adalah ingatan pada darah yang pernah tumpah, pada tangan-tangan yang dirantai, dan pada lidah yang tak pernah berhenti menyebut kata “merdeka”.

Baca Juga:

Bill Gates Keluar dari 10 Besar Forbes 400, Fokus Sumbangkan 99% Kekayaan

Tidore dan Ternate, dua pulau kecil yang ditakdirkan menjadi pusat dunia, pernah mengirimkan angin perlawanan kepada bangsa asing yang datang dengan kapal-kapal hitam.

Para sultan-sultan berdiri tegak, menyusun strategi, mengikat sumpah di atas gelombang laut, bahwa tanah dan laut ini tidak boleh menjadi milik siapa pun selain anak cucu sendiri.

Perjuangan itu bukan hanya tentang senjata, melainkan juga tentang keyakinan. Tentang doa-doa yang dilantunkan di masjid tua, tentang cerita rakyat yang diturunkan dari mulut ke mulut, agar generasi yang lahir kelak tahu bahwa negeri ini telah lama berdiri sebelum peta dunia digambar ulang oleh tangan penjajah.

Di Halmahera, di Morotai, di Bacan, dan di setiap pulau yang digeluti cahaya matahari tropis, rakyat belajar arti bertahan.

Baca Juga:

Menjaga Tradisi, Merawat Pikiran Kritis Mahasiswa

Mereka mengarungi laut dengan perahu kecil, menanam sagu di tanah kering, menyanyikan lagu-lagu pengharapan di bawah bulan.

Mereka tidak pernah kalah, sebab kalah berarti menyerahkan laut biru yang luas ini kepada orang asing.

Kini, setelah gelombang kolonialisme mereda, perjuangan itu tidak berhenti. Ia berganti rupa. Musuh lama dengan meriam telah berganti wajah menjadi perusahaan raksasa dengan izin tambang di tangannya.

Hutan ditebang, gunung dikoyak, laut ditumpahkan limbah. Tetapi semangat leluhur masih berdenyut dalam urat anak Maluku Utara.

Perjuangan bangsa di tanah ini adalah perjuangan menjaga warisan: menjaga laut tetap biru, menjaga tanah tetap subur, menjaga manusia tetap bermartabat.

Baca Juga:

Usai Mengganti Lima Mentri Kabinet, Mahfud MD Beri Apresiasi dan Dua Jempol Untuk Presiden Prabowo

Sebab, kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajah asing, tetapi juga bebas dari ketamakan yang lahir di dada sendiri.

Dan di setiap senja, ketika matahari tenggelam di ufuk barat, laut Maluku Utara berkilau seperti emas.

Seolah ia ingin berkata: “Aku adalah saksi perjuangan. Aku telah menelan kapal-kapal asing, bahkan mendengar teriakan perlawanan. Dan aku akan terus menjadi rumah bagi bangsa yang tak pernah menyerah.” (*)

 

 

**) Ikuti berita terbaru intronusantara di WhatsApp klik link ini dan jangan lupa di follow.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *